31

84 13 2
                                    

Saat lelaki itu akhirnya memberitahu kalau Sabtu esok Juna akan membawa Hana ke rumah wanita yang telah melahirkannya, Hana menahan diri untuk tak bertanya-tanya. Rasanya langsung menemui ibu Juna akan terasa canggung. Lelaki itu tak pernah menceritakan apa-apa tentang ibunya selain 'masakannya enak' atau selain kenangan pahit kalau ibunya meninggalkan rumah demi laki-laki lain.

Juna pun menjalani hari-hari seperti biasa, bekerja layaknya atasan seperti kemarin-kemarin. Malamnya, kalau Juna mampir ke apartemen, lelaki itu akan menemaninya nonton film atau mengajak Hana ke toko buku. Karena Juna tak menyinggung kisah apa pun tentang ibunya-yang selalu Juna panggil dengan 'mama', maka Hana memilih menunggu.

Waktu berjalan cepat.

Juna mendapatkan alamat rumah baru mamanya dari ayah Julian-kakak kandung mamanya. Sejak perceraian orang tua Juna, keluarga Julian tetap menerima Juna sebagai bagian dari keluarga Adikara, meski hubungan keluarga mereka semakin jauh. Karena terbiasa menjadi teman sepermainan Julian sejak kecil, Juna pun tak canggung untuk menginap di rumah pamannya tiap kali ia ke Bandung.

Belasan tahun ini, Juna tak pernah menemui mamanya. Ia juga tak pernah menanyakan alamat barunya semenjak wanita itu memilih menjauh dari keluarga Adikara-karena pilihan hidup yang ia ambil. Juna membuang semua rasa penasarannya dulu dan memilih pindah ke Jakarta begitu ia merasa cukup dewasa.

Alamatnya di Padalarang. Baik Hana maupun Juna cukup asing dengan kota itu. Keduanya mengandalkan maps untuk sampai di alamat yang diberikan ayah Julian. Beruntung. alamat rumah itu letaknya tak jauh dari alun-alun kota.

Mobil yang dikendarai Juna bermanuver pelan, berhenti tak jauh dari depan sebuah toko-terlihat di mata Hana seperti sebuah galeri seni. Hana melepas seatbelt dan bersiap turun. Perempuan itu hampir membuka pintu mobil ketika ia melihat Juna bergeming. Bahkan seatbelt masih betah melingkari badan lelaki itu.

"Jun?"

Lelaki itu tak menyahut. Pandangan matanya lurus pada pelataran halaman galeri yang menjadi pusat perhatiannya sedari tadi.

"Kapan turun?"

Juna menjawabnya dengan helaan napas. Siapkah ia? Yakinkah ia kalau ia ingin menemui mamanya sekarang... setelah belasan tahun lamanya? Lelaki itu menoleh lesu pada Hana, memandang Hana dengan tatapan sayu.

Hana paham. "Batal?"

Juna mengusap wajahnya sendiri.

"Mau balik? Lain kali aja ke sini." Hana mengangkat kedua bahunya. "Meski konyol sekali rasanya ngelewatin macet di tol tadi. Kita cari makan, deh." tawar Hana mencairkan suasana.

"Bukan gitu. Aku sudah bawa kamu jauh-jauh ke sini."

"Kalau kamu mendengar cerita dari sisiku saja, mungkin kamu akan mendengar banyak opini negatif. Kemarahanku mungkin akan membuat ceritanya jadi ga adil."

"Makanya kamu bawa aku ke sini, biar aku lihat bundamu secara langsung?"

Juna mengangguk pelan. "Ada sedikit... kenangan bagus tentang mama. Tentang mama yang... ramah, menyenangkan. Aku ga menjamin kalau sifatnya akan tetap seperti itu. Mungkin dia sudah berubah. Entahlah. Tapi kalau aku menceritakan tentang perpisahan kedua orang tuaku, aku khawatir aku hanya akan mengumpat dan berteriak marah. Aku gamau kamu melihat itu."

Hana meraih tangan Juna, membelai punggung tangan lelaki itu dengan ujung ibu jarinya. "Aku ga berpacaran dengan batu. Marah itu manusiawi."

Juna mengangkat tangan Hana yang bertengger menangkup tangannya, membawa jemari lentik perempuan itu untuk ia kecup pelan. "Terima kasih."

perfect loveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang