40

73 17 4
                                    

Sepanjang akhir minggu, Juna tak bisa berpikir jernih. Setiap detik ia berpikir betapa ia berharap ia sedang ada di Bandung. Juna sering merenung, sering menangkup wajahnya yang terlihat lelah. Benarkah keputusan yang sudah diambilnya ini?

Sama seperti detik ini, lelaki itu hanya duduk di ruang kerja rumahnya. Dasi yang menghias kemejanya dibiarkan menggantung dengan tidak rapi. Ia banyak menunduk, seolah memandangi karpet. Juna pun berjengit ketika pipinya merasakan dingin yang membeku dari sebuah kaleng coke yang disentuhkan di sisi wajahnya.

"Eh, hai Pa.... kapan masuk?"

Adam tersenyum simpul, menunggu Juna menerima kaleng coke yang ia sodorkan.

"Dari tadi. Sampai papa capek ngeliatin kamu diam."

Juna tersenyum tipis. "Ada apa?"

"Kamu yang ada apa..."

Juna menggeleng lemah. Tangannya menerima kaleng coke dan membukanya pelan. Lelaki itu meminumnya perlahan, membiarkan air soda itu membasahi kerongkongannya.

"Adikmu sering senyum-senyum sendiri. Tapi kamu sering murung akhir-akhir ini."

Juna mencoba mengingat Alika. "Oh, ya?"

"Syal yang kamu kasih ke Alika itu---"

Juna belum menceritakannya.

"---dari mama kamu?"

Juna mengernyitkan alisnya. Beberapa detik, Juna menghela napas panjang. "Alika cerita?"

"Dia selalu terbuka sama papa. Ga kaya kamu."

"Alika itu manja sama papa," Juna menggeleng-gelengkan kepalanya. "Anak papa."

"Dan kamu anak mama." ucapan Adam membuat Juna tersenyum. "Apa dia baik-baik aja?"

Juna memandangi kedua mata papanya lekat-lekat. Lelaki itu menunggu Juna bicara. "Sepertinya... baik-baik saja."

"Baguslah. Bagaimana ceritanya kamu bisa mencari alamat mamamu? Apa yang membuat kamu akhirnya mencari mamamu?" Pertanyaan Adam belum terjawab saat ia melanjutkan, "Papa kenal kamu. Sangat mengenal sifatmu lebih dari siapapun," Lelaki itu mengangkat tangan kanannnya yang tak lagi memegang coke, dan menunjuk-nunjuk pelipisnya sendiri. "Keras kepalamu itu menurun dariku."

Juna tertawa pelan.

Dilihatnya Juna yang akhirnya mulai mencair. Tawa pelan putra sulungnya itu mampu membuat Adam mengembuskan napas lega.

Suara samar itu disadari Juna. "Sorry... kalau bikin papa khawatir."

Adam tersenyum. "Lalu... pertanyaan tadi?"

"Oh," Juna tersenyum miris. "Sebelumnya, boleh Juna tanya sesuatu? Sejak dulu Juna ingin tau, bagaimana cara papa memaafkan mama?"

"Kukira kamu mau ngomongin masalahmu. Minta saran atau apa." Adam menyandarkan sisi lengannya pada tepian jendela tak jauh dari meja kerja Juna. Sambil tertawa ia berkata, "Harus papa jawab apa? Karena papa sayang sama mama kamu?"

Adam mengerti raut keraguan yang timbul di wajah Juna. Ia tak lagi mencoba bergurau.

"Perpisahan ini juga demi orang itu."

"Demi---siapa?"  Juna sempat menelan ludah saat menanyakannya.

Adam menunduk beberapa jenak. Di bibirnya terukir senyum tipis. Lelaki berkacamata dengan banyak helai uban yang tumbuh di rambutnya itu menggeleng pelan. Ia menarik napas panjang dan tersenyum pada putranya. "Orang itu... mama kamu."

Juna makin tercenung. Diletakkannya kaleng minuman di atas mejanya dan ia perlahan berdiri, menyandarkan sebagian tubuhnya di ujung tepian meja---mengambil gestur berhadapan dengan Adam. "Maksudnya?"

perfect loveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang