1

537 30 17
                                    

Hana datang terlalu pagi hari ini. Masih setengah tujuh kurang. Tidak ada siapa-siapa di gedung kantor. Bahkan tak ada satupun OB yang terlihat olehnya. Yang terlihat sejak Hana sampai kantor hanyalah para security yang menjalankan apel pagi.

Suasana sunyi membuat Hana mendesah panjang. Vertical blind di jendela kaca ruangannya ia buka sempurna. Suasana ruang kerjanya yang menghadap langsung pada keadaan luar membuat perempuan itu memejamkan matanya berulang kali. Sungguh, ia akan merindukan ruangannya ini.

Sebulan lalu, muncul sebuah pengumuman di kantor

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sebulan lalu, muncul sebuah pengumuman di kantor. Seorang General Manager dari Jakarta akan datang ke Bandung. Tak ada detil khusus yang Hana dapatkan. Namun satu keputusan dari salah satu Vice President menyatakan kalau Hana akan dipindahkan sementara, menjadi bawahan sang General Manager selama di Bandung. Bukan main Hana tak habis pikir. Kenapa harus dia?

"Aahhh..."

Hana bangkit berdiri dari kursinya. Ia suntuk. Kalau GM itu benar datang hari ini, ia harus segera bersiap untuk pindah meja. Hana melangkah keluar ruangan, lalu mengendap masuk ke ruangan sebelah—salah satu ruang meeting yang kosong. Di atas meja utama, di samping LCD proyektor, Hana meraih suatu perangkat.

"Pinjam speaker sebentar deh pagi ini," dengan santainya perempuan itu membawa keluar seperangkat speaker kecil dan memindahkannya ke ruangannya sendiri.

"Emangnya departemen kreatif aja yang perlu hiburan? Aku juga butuh hiburan biar gak stres," gumamnya sendirian. Perempuan itu tersenyum puas ketika menghidupkan laptopnya. Tak sampai semenit, suara Hayley Williams mengudara. Masih kurang setengah jam dari waktu biasanya Rara—sahabatnya, datang. Ia bisa mendengarkan musik sepuasnya.

Hana melompat-lompat, ikut berteriak nyanyi bak sang vokalis Paramore.

"Let this place go down in flames only one more time. You kill the lights, I'll draw the blinds..."

****

Sudah lama Juna tak ke Bandung dan ia tak yakin kalau masih mengingat benar jalanan kota Bandung. Karena itulah, saat Julian—sepupunya—menawarinya untuk meminjam sementara Honda Civic Hatchback miliknya, Juna lebih memilih memanggil taksi online. Rasanya sudah hampir enam tahun berlalu. Perjalanan dari Banda ke Cihampelas yang notabenenya masih satu wilayah saja sudah membuatnya cukup pangling. Padahal, ia belum merasakan pembangunan di pusat kota.

Satu hal yang membuat mood Juna cerah hari ini adalah bahwa jalanan kota Bandung tak segila Jakarta. Taksi online yang ditumpanginya membawa Juna ke destinasinya kurang dari tigapuluh menit.

Masih setengah tujuh. Jam masuk kantor adalah jam delapan. Juna tersenyum. Hari masih terlalu pagi untuk memulai pekerjaan.

Lelaki tu langsung disambut ramah oleh sekumpulan security di depan pintu masuk gedung. "Mau ke warehouse atau ke kantor, Pak?" tanya si satpam sambil mendampingi Juna. "Di warehouse belakang, shift tiga masih jalan, Pak. Kalau kantor, sepertinya masih sepi."

"Ke kantor saja," jawab Juna singkat. Belum ada keperluan ke gudang. Ada baiknya ia tinggal di kantor, mengecek email atau sekedar bersantai. Ketika lelaki itu melangkah memasuki gedung utama, beberapa OB juga datang, masuk dari pintu samping gedung. Dengan ramah, para pekerja itu memberi salam pada Juna.

"Beliau Pak Arjuna, GM Jakarta." dengan lugas, satpam memperkenalkan Juna pada semua OB muda di hadapannya. Salam selamat pagi menggaung serempak.

"Bisa saya minta kopi panas?"

Salah satu OB mengangguk cepat. "Saya antar ke mana, Pak?"

Juna mengerutkan alisnya. Ia belum tahu ruangan mana yang akan ia pakai mulai hari ini. Belum ada pemberitahuan untuknya. Lelaki itu menoleh pada sosok security yang berdiri di belakangnya. "Saya pakai ruang meeting, ya."

"Baik, Pak."

Juna mengangguk. "Kunci ruangannya sudah dibuka?"

"Sudah, Pak. Semua ruangan umum seperti ruangan meeting, pantry, kesehatan, sudah dibuka sejak pukul enam pagi. Ruang meeting di lantai satu ada di Utara."

Sepertinya perkantoran ini tak banyak berubah. Biasanya ia datang ke Bandung barang satu atau dua hari untuk urusan pekerjaan dan menginap di hotel. Kantor pusat terletak di Jakarta. Rerata komunikasi dilakukan lewat video-conference atau tim Bandung yang berangkat ke Jakarta. Juna tak terbiasa kembali ke kota ini. Ia bahkan jarang mengunjungi Julian dan pamannya.

Ia baru akan duduk di salah satu kursi besar di ruang meeting saat telinganya menangkap suara sesuatu. "Apa itu?" tanyanya.

Si satpam terlihat kelabakan. Juna bisa menangkap kalau lelaki paruh baya di hadapannya itu tak memiliki jawaban yang ia butuhkan. Juna mengerutkan kening.

"Orang gila macam apa yang menyetel musik sekeras ini pagi-pagi?"

"Biar saya cek, Pak—"

"Jangan," perintah Juna buru-buru. "Kamu kembali ke pos saja."

Perintah sang GM muda itu tak bisa diabaikan. Dengan postur sigap, petugas security yang mendampingi Juna segera berbalik dan meninggalkan ruang meeting. Sementara itu, Juna memejamkan matanya beberapa detik, menajamkan pendengarannya pada suara musik yang masih mengalun. Lelaki itu meninggalkan tas kerjanya di meja. Kakinya bergerak, membawanya keluar dari ruang meeting dan mendekat pada satu ruangan yang menjadi sumber semua kebingaran yang tak dapat diterima telinga Juna.

Pintu ruangan di hadapan Juna tak tertutup sempurna.

Tangan lelaki itu terangkat—mendorong pintu perlahan.

Sesosok perempuan yang berdiri membelakanginya dan bersandar di tepian meja tertangkap pandangan mata Juna. 

****

[Senin, 25 Februari 2019]

perfect loveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang