Come on, Jun. Foto itu kudapat dari Raisha. Dia ngejamin seribu persen, Hanaya punya ketertarikan ke kamu. HAHAHAHA
Pesan Viant itu baru Juna baca saat kantor sudah mulai sepi. Lelaki itu larut dalam pekerjaannya, begitu juga Hana yang sejak tadi sore tak beranjak dari mejanya.
Sejujurnya, melihat potretnya ketika tertidur di apartemen Hana pada layar ponsel Viant membuat Juna kaget. Ada sesuatu yang menghantam dadanya, membuat jantungnya memacu lebih cepat. Saat lelaki itu memeluknya tadi, Hana mungkin bisa mendengar detak jantungnya yang berisik. Mungkin ia juga memiliki ketertarikan pada asisten perempuannya. Tak tahu apa yang harus dilakukan, Juna merasa frustasi sendiri.
"Hana,"
Hana mengangkat wajah dari tumpukan pekerjaan yang dibawa Juna dari Karawang.
"Kita siap-siap pulang saja. Kuantar kamu."
"Oh, oke." Hana mengangguk setuju.
"Aku cek dulu mobil operasional yang bisa kubawa. Kamu bereskan berkasmu."
Hana tersenyum paham.
"Kita cari makan sekalian. Sudah jamnya makan malam," tawar Juna. Lelaki itu bangkit dari kursinya sembari mematikan laptop. Ia mengintip ke luar jendela, memandangi langit gelapp dan taman yang diterangi lampu hias taman di beberapa sudut. Juna lalu melirik Hana yang belum merespons ajakannya. "Tidak masalah, kan?"
Hana buru-buru menggeleng. Perempuan itu tersenyum teduh sambil menggaruk tengkuknya. ''Baik, Pak."
****
Hana masih memikirkan tempat makan yang bisa mereka datangi karena Juna meminta saran darinya sesaat setalah mereka memasuki mobil. Juna tak banyak meminta. Ia hanya ingin tempat makan yang menyenangkan, tidak harus mahal, yang penting enak.
Hana jelas tidak akan menyarankan masakannya sendiri.
"Sudah kepikiran dimana?"
Hana tersenyum kikuk. "Ah, bagaimana, ya? Saya jarang makan di luar, sih."
"Kamu mau kita ke apartemenmu lagi? Kamu akan kelabakan kalau aku sampai ketiduran lagi. Ini sudah malam," canda Juna santai. "Tidak usah makanan berat."
Hana menggaruk tengkuknya. Merasa canggung.
"Uhm, saya dulu kalau kuliner, mainnya ke Jalan Sudirman, sih, Pak. Ada mie ayam yang enak di sana, atau bakso yang lumayan di sekitar situ juga. Atau makanan Sunda di Jalan Natuna. Masalahnya saya tidak tau apakah jam segini buka. Kalau mie ayamnya, jelas sudah tutup, Pak. Lagi pula terlalu jauh."
Juna mengangguk. Hana hanya tertawa pelan, menyesali sarannya yang tak banyak membantu.
"Lalu kita ke mana? Mau makan di mall?"
"Wah, sedang ramai, Pak. Sebulan ini, kan, ada shopping festival dimana-mana," kisah Hana bersemangat.
"Kamu mau belanja? Sekalian saja, tidak masalah. Kutemani."
Hana sontak menggelengkan kepalanya. "Saya tidak terlalu suka belanja, kok, Pak. Biasanya kalau saya belanja dengan Rara, dia yang paling betah masuk dari satu toko ke toko lain."
"Bisa dibayangkan."
Tawa keduanya memenuhi kabin mobil. Suasana jalanan yang lancar membuat mood Juna makin baik. Tanpa sadar, ia melupakan rasa lelah yang menempel di sekujur tubuhnya. Setiap ia melirik Hana, perempuan itu selalu memasang senyum di wajahnya.
"Bagaimana kalau ke Gempol? Saya punya langganan roti bakar. Kalau mau, saya telfon orangnya, biar saat kita sampai, bisa langsung ambil."
Setelah mendapat persetujuan Juna, Hana dengan semangat meraih ponselnya. Beberapa nada sambung dan suara sapaan khas masyarakat Sunda menyapa telinga Hana. "Akaaang! Aku mau ke situ. Akang jualan?" tanya Hana berseri-seri.
Suara riang Hana membuat Juna meliriknya.
"Heeh, mau pesan. Seperti biasa? Emm, bentar, ya." Hana buru-buru menoleh. "Pak Juna suka rasa apa?"
Juna berdeham, berpikir. "Hm, terserah kamu."
Hana mengangguk. "Vanilla-keju aja, deh, Kang."
Setelah percakapan singkat, Hana memutuskan sambungan telfon. Mendadak, ia menjadi jangan lapar-membayangkan roti bakar empuk yang sudah lama tak ia makan.
"Akrab sekali." karena mendapat respons kebingungan Hana, Juna memperjelas pernyataannya. "Kamu dan orang yang barusan kamu telfon... akrab sekali."
"Oh, itu. Langganan lama. Saya suka mendengar aksennya. Saya tidak bisa bahasa Sunda, sih, cuma bisa 'akang-akang' saja," ujar Hana. "Mas-nya juga ramah. Saya suka."
"Suka sama yang jual itu?"
Hana melongo. "Bukan suka yang itu. Suka sama personality orangnya. Tapi di Gempol memang banyak penjaja makanan yang asyik, sih!"
"Sepertinya dulu kamu sering jalan-jalan ke Gempol, ya?" pertanyaan lanjutan dilontarkan Juna setelah mendapat anggukan dari Hana. "Dengan siapa?"
Pertanyaan yang satu itu membuat Hana membeku. Dengan... siapa?
"Seingatku, selain pasar malam yang ramai anak remaja, Gempol tempat yang bagus untuk anak muda pacaran. Dengan siapa? Pacarmu?"
Nathan-lah yang pertama kali mengajaknya ke pasar malam itu. Zaman masih kuliah. Sejak Nathan meninggalkannya, ia memang jarang datang ke Gempol. Kalau hanya sesekali, ia akan mengajak Rara di Minggu malam; membeli bihun atau sekadar jalan.
Juna berdeham, memaksa Hana menoleh.
"Ehm..." Hana hanya memandang Juna sedetik, sebelum memalingkan wajahnya ke luar kaca jendela mobil. "Dengan... mantan."
****
[Selasa, 12 November 2019]
KAMU SEDANG MEMBACA
perfect love
Fanfiction𝐟𝐭. 𝐤𝐢𝐦 𝐬𝐞𝐨𝐤𝐣𝐢𝐧 "If God can take away something you never imagined losing, then God can replace it by something you never imagined owning."