Dua langkah di depan Hana, Juna berdiri. Lelaki itu memandangi layar ponselnya, mengabaikan sekitar. Tubuh tinggi menjulangnya membuat Hana tak bisa mengintip apa yang sedang menarik perhatian mata sang kekasih yang juga atasannya tersebut.
Lelaki itu seharian ini sok sibuk sendiri. Ia hampir tidak memandangi Hana. Komunikasi yang berjalan hanya melalui email. Email-email itu tentu saja untuk urusan pekerjaan. Report inilah, data itulah-membuat Hana uring-uringan tiga jam terakhir.
Padahal ia jelas berkata pada Rara bahwa di dalam Gedung kantor ini ia aka bersikap profesional-sebagai atasan dan asisten seperti hari-hari kemarin. Tapi tahu-tahu, dalam rongga kepala perempuan itu, ingatan ketika ia berusia belasan tahun kembali lagi.
Dulu Hana punya partner di ekstrakulikuler karate semasa SMP. Hana merasa nyaman berada di samping temannya tersebut. Sampai hormon remaja memaksa Hana untuk menyatakan perasaan. Ia diterima. Bukan main senangnya Hana saat itu. Mencuri-curi waktu untuk memakai telfon rumah untuk menghubungi pacar pertamanya, Hana bersikap penuh perhatian. Lalu esoknya, belum duapuluh empat jam, lelaki itu mengatakan satu kalimat yang membuat Hana mengurung diri di kamar mandi selama satu jam: 'Rasanya aneh, lebih nyaman saat kita jadi teman biasa. Iya, ga?'
Sejak saat itu, Hana tak pernah mau mengungkapkan perasaannya. Tiap ia punya kekasih, lelaki-lelaki itulah yang lebih dulu mengungkapkan perasaan. Hana hanya menjalin hubungan dengan laki-laki yang mencintainya duluan. Bahkan dengan Nathan dulu, Nathan-lah yang mengejarnya.
Kejadian-kejadian dulu itu membuat Hana melamun. Matanya masih terpaku pada punggung Juna. Perempuan mana pun akan susah menahan diri untuk tak memeluk Juna dari belakang dalam jarak sedekat ini. Di tubuh lelaki itu melekat kemeja biru tua-milik Viant. Nyatanya, memakai warna segelap itu membuat kulitnya terlihat kontras.
Bagai malaikat bersayap hitam dalam komik perempuan yang pernah Hana baca.
Hana gemas setengah mati. Kenapa lelaki itu mengabaikannya seharian ini? Jangan-jangan kejadian masa SMP itu akan terulang lagi? Hana menggelengkan kepala kuat-kuat sebelum mempercepat langkahnya. Juna berhenti ketika tahu-tahu, Hana ada di sampingnya. Juna mengerjap, bingun melihat Hana yang memicingkan mata.
"Kenapa?" tanya Juna heran. Melihat Hana yang masih bergeming, Juna menelusupkan ponselnya ke dalam saku dan mencoba lagi. "Ada apa?"
"Ak-saya pulang bareng Rara, ya."
Juna mengerutkan alisnya. "Belanjanya?" lelaki itu ingat kalua kulkas di apartemen Hana hampir kosong. Ia sendiri yang berjanji akan mengantarkan Hana. Tapi kenapa mendadak perempuan itu membatalkannya?
"Kapan-kapan saja."
Juna terdiam. Apa yang salah? Beberapa pegawai mulai keluar dari kantor, lalu-lalang melewati lobby tempat keduanya berdiri. Sesekali, disela berpikir, lelaki itu membalas sapaan-sapaan pegawai lain yang menyadari keberadaan Juna. Diperparah dengan Viant yang mendadak muncul. Kedua lelaki itu malah keenakan berbicara. Sebenarnya pembicaraannya seputar isu perusahaan, proyek-proyek di luar pulau, dan beberapa hal lain.
Hana mendesah panjang. Suaranya tertangkah pendengaran Juna, membuat lelaki itu berbalik. Hana masih di sana. Lelaki itu melirik jam tangan yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Bukannya tadi Hana ingin pulang Bersama Rara? Meski Juna belum mengiyakan, tapi ia mengira Hana akan langsung pergi begitu saja.
Perempuan itu terlihat bad mood.
"Ngambek, tuh."
Sahutan Viant membuat mata Juna melebar, dan Hana makin menggembungkan pipinya. Bahkan Viant lebih peka ketimbang Juna.
Juna berdeham. "Memangnya apa salahku?"
"Tidak ada, Pak."
Hana bersiap berbalik pergi, namun dengan sigap Juna menahan lengan Hana.
"Wah, kalian formal sekali," celetuk Viant.
Juna juga heran mendengarnya.
"Kan di kantor," jawab Hana. Perempuan itu mengerucutkan bibir. "Profesional, Pak Viant, seharian ini juga begitu," imbuhnya lagi.
"Di ruangan juga gitu?" tanya Viant penasaran. "Just close the damn door and start cuddling whenever you like," candanya. "Ga susah, kan?"
Juna hampir mengomeli Viant. Namun begitu ia melihat Hana, ia urung. Mulut Hana terbuka tipis, tapi kelihatannya, Hana tak berniat berkata apa-apa-Hana tak tahu apa ia harus meneriaki Viant atas komentar gilanya barusan atau tidak. Mata Hana yang lebar berkedip-kedip dan merah di wajahnya sangat kentara.
Hana rupanya termakan perkataan Viant. Hana yang mematung membuat Juna mengakhiri diam perempuan itu dengan mengecup pipi perempuan itu dalam sedetik.
Suara memekik Viant terdengar jelas di telinga Hana.
Hana mengerjap. Tunggu?! Apa yang barusan itu?! Perempuan itu menatap mata Juna. Iris mata lelaki itu membiaskan bayangan wajah Hana sendiri.
"Jangan memasang wajah seperti itu."
Hana menggembungkan pipi. "Ap-"
"Nah, wajah itu," keluh Juna.
"Apa, sih?" Hana memiringkan kepala.
"Maksud Juna, mukamu itu minta dicium," bisik Viant enteng.
Hana melongo. "Apa?!" Hana buru-buru membekap mulutnya sendiri.
"Ah, sudah, lanjutkan di luar. Beruntung tadi itu sepi." Viant menoleh jauh ke belakang, melirik meja resepsionis yang sudah kosong. "Pulanglah, kalian berdua."
Hana masih ingin mengomel, namun Juna sudah menarik pergelangan tangan Hana. "Kamu pulamg denganku. Jangan bareng Raisha."
Nyatanya memang ia tak memiliki rencana pulang dengan Rara. Celetukannya tadi ia lontarkan begitu saja gara-gara sebal dengan sikap Juna yang tak acuh hingga memancing kecemasannya. Hana pun tak menolak ketika lelaki itu menarik tangannya, membawanya keluar lobby. Samar, suara Viant masih terdengar di pendengarannya.
"Damn, Lovebirds."
****
[Selasa, 10 Desember 2019]

KAMU SEDANG MEMBACA
perfect love
Fanfiction𝐟𝐭. 𝐤𝐢𝐦 𝐬𝐞𝐨𝐤𝐣𝐢𝐧 "If God can take away something you never imagined losing, then God can replace it by something you never imagined owning."