21

79 18 1
                                    

"Kamu jadi kaya Sania."

Hana menoleh bingung. Perempuan itu mendengar dengan jelas suara lirih Rara barusan. Hana berhenti menggerakkan sendoknya—tak lagi mengaduk teh hijau di mug miliknya. Ditatapnya Rara yang menyipitkan mata ke arahnya dengan tatapan penuh selidik. Hana masih memasang wajah bingung, berharap Rara menjelaskan maksud perkataannya tadi. Rara terang-terangan menyebut nama perempuan yang mendapat predikat berdandan paling nerd  di kantor.

"Tumben banget kepang-kepang, gitu."

Mulai sadar maksud Rara, Hana menggelengkan kepala, mengabaikan tatapan Rara dan mengaduk lagi teh hijaunya. "Kepang-kepang apaan, cuma kepang satu doang."

"Belum keramas, ya? Rambutmu lepek, ya? Makanya dikepang gitu?"

"Duh, ngasih pertanyaan yang bagusan dikit, dong, Ra. Urusan kepang rambut aja tatapanmu ke aku kaya tatapan paparazzi gitu."

"Lha, emang bukan itu doang."

Hana menoleh lagi pada sahabatnya.

"Biasanya kamu penganut slogan 'I hate monday'. Kok tumben mukamu cerah gitu, kaya habis menang togel atau apa, gitu?"

"Makin ngawur aja omonganmu."

Rara mendecak.

"No comment."

Kedua perempuan itu berdiri, bersiap meninggalkan pantry. Menata gula dan mengembalikannya ke laci pantry, keduanya membersihkan jejak air panas yang tumpah di meja dan bersiap keluar—tepat ketika seseorang melangkah masuk ke ruang pantry.

"Eh, Pak Juna..." sapa Rara.

Juna tersenyum ramah, lalu menoleh pada Hana yang membungkuk memberi salam.

"Pagi, Han."

"Pagi, Pak."

Senyum dan rona merah di wajah sahabatnya itu membuat Rara sadar ada sesuatu yang harus ia konfirmasi nanti. Sepertinya ada sesuatu yang menarik.

"Kalian lihat ada OB, tidak? Aku tidak menemukan satupun."

"Memangnya Pak Juna ada perlu apa?"

"Mau minta kopi."

Hana mengangguk paham. "Mau saya buatkan?"

"Kalau tidak merepotkan." Juna sudah hampir berbalik dan melangkah pergi ketika lelaki itu menoleh lagi pada Hana. Lelaki itu mengangkat tangannya, menyentuh rambut Hana sedetik. "Kamu kepang? Bisa melakukannya sendiri?"

"Tentu saja."

"Looks good on you," puji Juna tanpa sadar. "Better than my sister."

****

Hana hanya mengangguk ketika Juna mengucapkan terima kasih atas kopi yang diantar ke mejanya. Perempuan itu buru-buru berbalik dan kembali ke mejanya. Tangan kanan Hana bergerak merayap ke bawah, meraba panel untuk menata ketinggian kursi. Diam-diam, Hana merendahkan ukuran tinggi kursinya. Perempuan itu berhasil menutup jarak pandangan matanya pada Juna—bersembunyi di balik komputernya.

Ini gila.

'Dia bilang kamu lebih cakep ketimbang adiknya. Wah, ada sesuatu, nih?'

Perkataan Rara itu bisa ia abaikan. Ia juga berhasil menahan diri untuk tak menceritakan perihal Juna menghabiskan siang hingga sore di apartemennya kemarin. Hana tak siap mendengar ceracauan Rara—yang katanya skandal-lah, jatuh cinta pada atasanlah. Hana tak siap mendengar itu semua.

Lebih tepatnya, ia tak akan bisa lagi dengan mudah membantahnya.

'Udah kaya buat suami sendiri aja bikinin kopi pagi-pagi.'

Kalimat itu, juga ingatan tentang bagaimana ia tinggal berdua saja dengan Juna di apartemennya kemarin membuat wajah Hana terbakar. Meski ia bungkam, Rara tetap mendapat sebagian respons Hana lewat raut wajah Hana. Hana sudah berusaha keras agar ia bisa kabur dari pantry, menghindari kalimat-kalimat yang meluncur dari mulut Rara. Tapi apa yang sahabatnya katakan selanjutnya, menarik penuh perhatiannya.

'Bunga mawar kemarin itu dari Pak Juna, ya?'

Hana hampir menjatuhkan teko berisi air panas.

'Eh, kamu belum tahu?'

Rara yang awalnya berniat bertanya akhirnya malah terpekur bingung. Hana tidak tahu itu. Mawar itu ditinggalkan di mejanya pada Jumat siang tanpa sebuah pesan apa-apa. Hana terlalu lelah untuk menebak. Wangi bunga cantik itu sudah menyihir Hana. Lagipula, ia ingat jelas, ketika ia berpapasan di lobby  dengan Juna, atasannya itu tak mengatakan apa-apa. Hana ingin sekali menganggap bahwa Rara hanya menggodanya.

Itu candaan, kan?

'Kamu kelihatan udah ga sebel lagi sama Pak Juna barusan. Kukira itu karena bunga itu, Han. Makanya aku mau mastiin aja. Aku tau dari Sania. Dia ngejamin kalau Jumat kemarin, Pak JUna memang bawa bunga ke kantor. Sempet dititipkan ke Pak Viant.'

Hana menggigit bibirnya.

'Kalau ada laki-laki ngasih bunga, itu ga bisa diabaikan gitu aja, kan?'

'Mungkin cuma permintaan... maaf.'

Mati-matian Hana berkilah. Namun, detak jantungnya memacu lebih cepat. Ada sesuatu yang menari di rongga dadanya, menggelitikinya, membuat perempuan itu mengembuskan napas panjang berulang-ulang. Akhirnya, Hana kehilangan kata-kata.

'Mawar putih. Purity, innocence, silence. Apa mungkin Pak Juna diam-diam menaruh perhatian lebih ke kamu? Siapkah kamu kalau itu beneran, Han?'

Hana tak tahu. Siapkah ia? Siapkah ia jatuh cinta? Siapkah ia meninggalkan masa lalunya yang menyakitkan? Siapkah ia membuka hatinya lagi?

perfect loveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang