Dari dalam mobil, terlihat suasana jalan raya yang cukup lancar. Masih ada satu jam sebelum jam keluar karyawan pabrik. Beruntung hari ini ia dan Viant bisa kembali ke Bandung lebih cepat. Awalnya, kedua lelaki itu mengira akan menginap semalam lagi di Karawang. Padahal sudah empat hari keduanya menghabiskan hari di kota itu.
Juna tak pernah sesemangat ini kembali ke kota kembang.
Viant mengecek email di ponselnya sambil sesekali meguap dan meregangkan otot. "Duh, sampai rumah langsung mandi, tidur..." keluh Viant tiba-tiba. "Aku udah email semua data ke Sania. Aku suruh dia ngolah, besok baru kucek lagi," terang Viant. "Mau nginep ke tempatku apa kamu turun di tempat Julian? Rumah Julian, kan, lebih deket ketimbang tempatku," tawar Viant. "Kalau ke Julian, tinggal kasih tau Santo."
Juna melirik Santo-sopir yang empat hari ini menemani keduanya dinas luar kota. Juna tak tahu. Entah kenapa, ia tak ingin pulang. Ia ingin ke... kantor.
"Ngapain mukamu suntuk gitu?" tanya Viant-menebak ekspresi Juna.
"Lagi males balik."
"Maksudnya?'
Juna mengangkat kedua bahunya. "Eh, ga adakah makanan Karawang yang bisa kita beli dulu? Oleh-oleh, gitu," celetuk Juna mengalihkan pembicaraan.
Viant menaikkan satu alisnya. "Memangnya kamu mau pulang ke Jakarta? Ngapain bingung oleh-oleh? Mau ngebawain siapa?"
Juna memutar bola matanya.
"Atau Hanaya?"
Juna mengalihkan pandangannya, berpura-pura sibuk memandangi jalan.
Viant tertawa. "Halah, Jun. Ngapain susah-susah ngasih oleh-oleh? Ajak aja keluar makan besok pulang kerja. Ngomong kangen Hanaya aja kok susah banget."
"Ngaco."
Viant menggeleng-gelengkan kepalanya sembari bibirnya tetap tersenyum. "Masih aja nyangkal."
"Omonganmu emang dasarya udah ngaco. Apanya yang nyangkal?"
"Ngaco gimana?"
"Mana buktinya kalau aku kangen sama cewe itu?"
Viant menyipitkan matanya. Lelaki itu memasukkan ponselnya ke dalam saku dan menjauhkan punggungnya dari sandaran kursi penumpang. "Mau bukti?" goda Viant. Sebuah seringai lahir di bibirnya.
Juna membalas tatapan Viant tanpa ekspresi-tak tertarik dengan gertakan Viant.
Viant tersenyum. Lelaki itu mencondongkan tubuhnya ke depan dan menepuk bahu Santo. Sementara itu, tangan kanannya meraih ponsel di saku kemejanya. "Sania? File yang kukirim tadi kamu cek sekarang. Mana yang kurang jelas kamu catat," sapa Viant cepat. Lelaki itu menepuk bahu Santo lagi. "To, kita ga jadi langsung pulang, antar kami berdua ke kantor."
Mata Juna menyipit.
Viant melirik sahabatnya dengan seringai tipis.
****
Viant berdiri di depan meja Sania, mengecek beberapa hal yang asistennya itu tanyakan. Sementara itu, Juna duduk santai di kursi milik Viant sembari membuka laptopnya. Apa yang Juna lakukan membuat Sania sesekali mencuri pandanga pada GM dengan tinggi badan yang hampir menyentuh 180 sentimeter itu. Berbeda dengan Viant yang senang dengan kemeja biru tua atau cokelat-bahkan merah bata-Juna lebih sering menggunakan kemeja dengan warna terang. Paling sering warna putih, seperti sore ini. Ujung lengan kemejanya terlipat hingga ujung siku. Wajah lelaki itu belum mengguratkan lelah. Wajahnya masih terlihat segar. Mata lelaki itu tertuju penuh pada layar laptopnya.
Itulah yang membuat Sania makin terheran.
Ini memang bukan pertama kalinya Juna ada di ruangan Viant. Tapi Sania rasa, harusnya laki-laki itu sesibuk Viant padanya sekarang. Maksud Sania, harusnya, begitu pulang, Juna punya banyak pekerjaan yang harus diselesaikan-dengan Hana.
KAMU SEDANG MEMBACA
perfect love
Fiksi Penggemar𝐟𝐭. 𝐤𝐢𝐦 𝐬𝐞𝐨𝐤𝐣𝐢𝐧 "If God can take away something you never imagined losing, then God can replace it by something you never imagined owning."