14

84 19 2
                                    

"Jumat-jumat gini, ngapain kamu bawa satu buket mawar putih gitu?" tanya Viant heran. "Dan kenapa ditaruh di ruanganku?"

"Titip." Jawab Juna cepat.

Viant memerhatikan Juna yang memijiti keningnya. Kebetulan dua hari terakhir Viant ke gudang di daerah Cimahi. Lelaki itu baru bertemu Juna pagi ini. Awalnya, ia sudah bersiap menerima omelan sahabatnya itu perkara story yang dilihat Mika beberapa hari lalu. Namun, pagi ini ia justru menemukan Juna membawa sebuket mawar putih-entah untuk apa. Juna mengabaikan Viant, sibuk mengecek email di ponselnya. "Kenapa ga ditaruh di mejamu sendiri?"

Juna bergeming.

"Siapa yang dulu bilang kalau sikapku yang bikin kita jadi pasangan gay? Sekarang, siapa yang bawa-bawa mawar putih ke ruangan sesama lelaki dan bikin kita kelihatan kaya pasangan gay?" Keluh Viant. Lelaki itu mengerling pada asistennya yang mejanya terletak tak jauh dari pintu ruangan, "Abaikan obrolan kami, Sania."

Juna mendengus. "Jangan banyak ngomong. Mana mungkin aku bawa buket bunga segede itu ke ruanganku. Bisa diprediksi kalau pegawai-pegawai dari ruangan luar, mereka akan menggosip dan menyangka kalau aku bawa bunga itu untuk Hana."

"Memangnya kenapa?" Sahabatnya itu tertawa kecil.

"Ini juga salahmu."

"Hah?"

"Hana sepertinya menghindar. Dua haru ini dia jarang tinggal di ruangan. Ke tim Safety untuk urusan incident report-lah, ke Departemen Prosedur untuk mengurusi kontruksi kerja lah, apalah."

Perhatian Viant mulai terfokus. Lelaki itu mendekat pada Juna. "Gimana, gimana?"

"Cerita, dong. Salahku di mananya? Kamu tadi bilang salahku?"

"Gegara story-mu itu. Aku ninggalin Hana untuk ngedatengin Mika. Padahal aku nyuruh dia masak makan malam sebagai ganti aku nganterin dia pulang."

"Dan kamu ninggalin dia gitu aja begitu ditelepon Mika? Jadi, dia marah?"

Juna mengangkat bahunya. "Dia ga bilang marah. Dia bilang, masakan yang kuminta dia masak itu dia makan sendirian. Kukira problem solved. Tapi sepertinya-"

"Dude, kamu kelamaan ngurusin Mika. Ga sempet ngejalin hubungan serius sama perempuan mana pun. Kalau Hana itu pacarmu, dia pasti terang-terangan ngamuk. Dan karena nyatanya dia itu bawahanmu, dia ngempet."

Juna tak ingin memercayainya.

"Yaudah, bunga mawar ini kasih aja ke Hanaya," canda Viant. "Permintaan maaf. Cewe suka luluh sama bunga."

"Sinting."

Viant masih betah tertawa dan menggoda Juna.

"Biarkan saja. Toh, memang hubunganku sama Hana memang sebatas asisten dan atasan. Kalau memang dia mau konsentrasi ke pekerjaannya, aku hargai itu."

Viant menggeleng-gelengkan kepalanya. Senyum di bibirnya belum menghilang.

Juna kembali menyibukkan diri dengan layar ponselnya. Lelaki itu tak benar-benar memandangi email di depan matanya. Nyatanya, ia cukup terganggu dengan sikap dingin Hana. Perempuan itu dua hari ini tak lagi lembur. Begitu jarum jam menunjuk pukul lima sore, perempuan itu sudah merapikan mejanya. Mungkin nanti sore juga begitu.

"Goodluck, Jun."

"Diamlah."

Viant tersenyum tipis. "Jadi mawar ini?"

"Hari ini jadwal istirahatnya panjang, kan? Aku mau mengunjungi seseorang."

****

Langit Bandung teriki meski ingin sesekali masih berembus pelan di bawah pepohonan yang menaungi pusara-pusara peristirahatan di daerah Pahlawan. Ia masih ingat perjalannya. Tak jauh dari tempat parkir mobil, ia harus menyusuri trotoar, mencari tanjakan tangga batu pertama, naik, dan mencari namanyabdi sekitar sana.

Kekasih Mikaila dulu.

Lelaki itu mengedarkan pandangannya, mencari nama lelaki yang pernah menyelamatkannya ketika kecelakaan bertahun-tahun lalu. Menemukan makam yang ia cari, lelaki itu mendekati batu nisannya. Juna meletakkan buket mawar putih yang ia bawa sedari tadi, membiarkannya berdiam di atas makam.

"Kamy membawaku pada situasi yang ga tahu kapan semuanya harus kuakhiri." Suara Juna mengalir lirih. Mungkin hanya tersampaikan pada rumput-rumput liar, dedaunan pohon yang menaungi Juna di atasnya, dan pada angin hangat yang berembus sesekali. Tangan Juna bersemayam diam di dalam kedua kantong celananya. Ia berdiri tegak. Pabdangan matanya hanya tertuhu pada sederet ukiran nama berwarna perak di permukaan nisan marmer hitam. Beberapa detik berlalu, tatapan Juna berubah sayu.

Juna mendesah lelah. "Sorry, aku datang dan tetiba komplain," ungkap Juna sendirian. "Aku bahkan ga menyapa kamu."

Angin mengamir pelan, menggoyang beberapa helai rambit hitam Juna.

"Tiga hari lalu aku ketemu Mika. Dia sehat. Kamu pasti ingin tahu, kan? Bahwa pacarmu itu sehat-sehat saja setelah bertahun-tahun kamu tinggalkan?"

Suasana hening.

"Mika adalah perempuan baik. Karena cincin itu... aku yang ganti menjaganya. Karena kamu pergi demi melindungiku malam itu. Tapi aku ga paham hubungan apa yang kami jalani," keluh Juna. Helaan napas terdengar lagi. "Aku adalah penggantimu. Aku ingin itu hanya sementara. Tapi bahkan enam tahun rasanya terlalu panjang untuk sebuah 'sementara'."

Berbicara panjang lebar membuat Juna makin lelah. Sebanyaj apa pun bicara, tak akan ada jawaban. Juna melangkah maju. Lelaki itu lalubdudyk di atas batu semen berwarna abu-abu yang mengeras dan bergeming di sana selama enam tahun lamanya. Juna menangkup wajahnya dengan kedua tangannya, mengusap pelan. Satu pertanyaan terngiang di kepalanya. Sampai kapan? Sampai kapan ia harus menjaga Mikaila?

"Oom, kuburannya mau disapu, ga?"

Juna menggeser tangannya. Di hadapannya, dua orang bocah berkulit cokelat terbakar berdiri memandanginya. Usianya mungkin sekitar duabelas tahun. Keduanya menenteng sapu lidi dan memandang Juna penuh harap-membuat Juna mengangguk pelan. Lelaki itu bangkit berdiri dan merogoh dompet di kantongnya. "Tolong cabuti rumput liarnya dan sampah kering sekitar sini dibersihkan. Sampah-sampah daun dari atas juga."

Kedua bocah itu simringat saat Juna menyodorkan uang sebagai ongkos membersihkan makam.

Juna sudah bersiap ketika seorang bocah memanggil lelaki itu lagi. "Oom, itu buketnya memang ditinggal, ya?"

Juna menoleh-berbalik. Matanya menangkap buket mawar putih yang tadi dibawanya. Lelaki itu terpaku sesaat. Sesuatu terlintas di dalam kepalanya. Ia ingat perkataan Viant ketika di kantor tadi. Lelaki itu memutuskan meraih buket bunga mawar yang tergeletak di dekat batu nisan. Memandanginya lebih dekat, jemari Juna meraih satu batang bunga mawar. Menariknya pelan, lelaki itu tersenyum.

"Kalian tata sisanya."

Juna berbalik, membawa setangkai bunga mawar putih di tangannya.

****

[Kamis, 25 Juli 2019]

perfect loveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang