Hana berjalan di belakang Juna dengan tertatih, diam-diam dia mencuri kesempatan untuk merapikan atasan sling warna putih tipis dengan celana pendek sebatas paha yang berhias anak anjing. Perempuan itu menarik-narik celananya. Berharap pakaiannya masih terbilang sopan.
Ah, persetan, pakaiannya ini pakaian tidur! Lagipula, laki-laki di depannya ini sinting. Selalu muncul tanpa diduga.
"Aku bawa beberapa sayur dan ikan. Hari itu aku membuat kamu menyia-nyiakan beberapa bahan masakan untuk dimasak, tapi aku malah pergi. Aku belanja untukmu sebagai penggantinya," kisah Juna tanpa menoleh ke belakang. "Kuletakkan di kulkasmu, ya."
Hana mencoba tertawa pelan-sebagai bentuk kesopanan. Hana mencoba meraih dua tas plastik putih berisi belanjaan sayur yang dibawa Juna. "Sebenarnya, Pak Juna tidak perlu melakukannya. Pak Juna taruh di meja saja, biar saya yang menatanya."
Juna berhenti melangkah.
Hana ikut menghentikan langkahnya-tak ingin menabrak punggung Juna.
Lelaki itu berbalik pelan, menatap Hana sekilas dari atas hingga ujung kakinya yang telanjang---membuat Hana mendadak merasa kikuk. Juna berbalik lagi dan meneruskan langkahnya, mengabaikan Hana yang melongo. "Kembalilah ke kamarmu."
"Eh?"
"Carilah jaket atau apa. Atau kau bisa ganti baju," jelas Juna. Suara maskulin lelaki itu terdengar sangat jelas di telinga Hana. "Carilah pakaian lain. Kamu bukannya tidak sadar kalau baju tidurmu itu tembus pandang, kan?"
****
Juna memandangi ikan bandeng di atas piring yang sudah ia cuci dan bersihkan. Lelaki itu tersenyum lega sembari mencuci tangannya dengan sabun. Sementara itu, sayur bayam yang ia masak sudah hampir matang. Mematikan api kompor, lelaki itu berlalu menuju ke lemari es, mengambil beberapa tomat ceri---memakannya.
Suara langkah kaki dari belakangnya membuat Juna menoleh. Hana menghentikan langkahnya tak jauh dari pintu dapur. Juna menahan senyumnya mati-matian. Lelaki itu mengalihkan pandangannya, membiarkan Hana yang terbengong melihat dapurnya.
Atasannya itu memasak, demi apa!
Sindiran Juna beberapa saat lalu membuat Hana bergegas mandi. Wajah perempuan itu merah total pada kalimat terakhir yang diucapkan Juna tadi. Juna tidak salah. Mengaku atau tidak, Juna berulang kali menahan napas ketika menatap perempuan itu---mati-matian tak menurunkan direksi pandangan matanya ke bawah dagu Hana. Apalagi Hana sempat melamun di depan pintu tadi, membuat Juna makin tak betah berdiri berhadapan terlalu lama.
Cute.
Juna menggigit lidahnya sendiri. Apa-apaan ini? Juna jadi kesal sendiri. Ia tak menyangka kalau perempuan itu baru bangun tidur. Tahu begitu ia akan datang lebih siang. Tapi... siapa yang akan mengir kalau hampir jam sebelas dan perempuan itu masih tidur?! Coba saja kalau yang datang adalah Viant. Sahabatnya itu pasti akan menyangka Hana sedang flirting dan Viant akan senang hati membawa Hana masuk ke kamar lagi.
Juna merasa kepalanya pening.
Napasnya mendadak memburu.
"Pak Juna... masak?"
Suara heran Hana membuat Juna menoleh lagi. Untungnya, saat ini Hana mengenakan celana hitam panjang berbahan denim juga kaos garis-garis. Lelaki itu mengangguk---merespons ucapan Hana---sambil melangkah menuju meja counter, menata bawang dan mempersiapkan cabe merah besar dalam sebuah mangkuk plastik. "Seperti yang kamu lihat."
"Kenapa?"
"Anggap saja sebagai ganti waktu itu." meski memang Hana dasarnnya senang memasak.
Hana menggeleng-gelengkan kepalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
perfect love
Fanfiction𝐟𝐭. 𝐤𝐢𝐦 𝐬𝐞𝐨𝐤𝐣𝐢𝐧 "If God can take away something you never imagined losing, then God can replace it by something you never imagined owning."