26

102 18 11
                                    

Juna mengecupnya.

Jantung Hana belum benar-benar mereda dentamannya. Juna tak mengatakan apa-apa perihal apa yang ia lakukan. Lelaki itu hanya memandangi mata Hana dan mengajaknya pulang. Di dalam mobil, Juna juga tak melakukan apa-apa selain berkonsentrasi menyetir. Semu rona merah dan sikap canggung lelaki itu membuat dada Hana menghangat.

Wajah perempuan itu sempat terbakar tadi. Dan Hana bersyukur suasana lapangan itu cukup gelap untuk menyembunyikan rona gelap wajahnya.

Hana mencengkram bagian paha pakaiannya, gemas sendiri. Perempuan itu lalu menarik napas dalam-dalam dan menggigit bibirnya-mencoba bersikap tenang. Tiap jengkal kata yang lelaki itu katakan taddi membuat Hana ingin mencobanya.

Kalimat-kalimat Juna menari dalam otak Hana.

Lalu satu kalimat menyembul dalam pikiran Hana, membuat Hana membuka mulutnya.

'Temui dan maki dia sepuas kamu, lalu lupakan.'

"Pak?"

Juna berdeham-tak ingin menoleh.

Lelaki itu sebenarnya merutuk dalam hati, merutuki apa yang ia lakukan tadi. Bukannya ia menyesal. Hanya saja, ia sendiri kaget dengan apa yang ia perbuat. Lelaki itu menciumnya tanpa aba-aba. Meski Viant bilang Hana punya ketertarikan khusus pada Juna, tapi Juna belum benar-benar memastikannya.

Meski sebenarnya, Juna juga heran kenapa perempuan itu tak mendorongnya tadi.

"Pak?"

"Hm?"

Hana tersenyum simpul. "Ada satu hal, yang Pak Juna sarankan, tapi tidak akan mungkin bisa saya lakukan..."

Apa? Melupakan lelaki itu? Juna mengeratkan pegangannya pada kemudi, tak senang membayangkan apa yang akan Hana katakan. Biasanya perempuan tak bisa melupakan laki-laki yang pernah mereka cintai. Seperti Mika, kan?

"Saya tidak bisa memaki dan menemui dia."

Juna menoleh bingung.

"Dia sudah tidak ada," imbuh Hana. "Meninggal."

Jawaban Hana membuat Juna kaget. "Apa?"

"Hari itu harusnya perayaan ulang tahun hubungan kami yang ketiga tahun. Tapi dia malah pergi dengan perempuan lain. Entah untuk apa. Saya kesal sekali. Dia kecelakaan dengan perempuan selingkuhannya."

Juna menahan napas.

"Sinetron sekali, ya," desah Hana. Perempuan itu menunduk dan menggelengkan kepalanya. "Mungkin itulah kenapa saya sulit sekali memaafkannya. Dia meninggalkan saya dalam keadaan mengkhianati saya."

Juna menghentikan laju mobilnya di sebuah perempatan karena lampu merah lalu lintas. Kesempatan itu Juna gunakan untuk menoleh penuh pada Hana. Perempuan itu menghela napas panjang. Namun ia sedang berusaha tersenyum. Berusaha keras.

"Tapi... saya ingin mencoba," ujar Hana lagi. "Saya ingin mencoba... memaafkan. Kalau Pak Juna, juga ayah dan adik Pak Juna bisa, artinya, saya juga bisa, kan?"

Juna mengulurkan tangan kirinya, menggenggam tangan Hana. Memberi isyarat bahwa lelaki itu ada di dekatnya. Dan akan membantunya melalui itu semua. Karena Juna yakin, kalau seandainya waktu tak bisa mendamaikan luka Hana, ada ia.

Hana menggenggam tangan Juna balik.

****

Juna bilang, Juna ingin mengantarkan Hana sampai depan pintu apartemen perempuan itu. Hana tidak menolak. Bersama Juna, Hana ingat bagaimana rasanya jatuh cinta, bagaimana rasanya merindu, hingga merasa senyaman ini. Dulu, tiap mengingat Nathan, rasanya akan sakit sekali.

perfect loveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang