'Ngapain di Padalarang? Kalo udah balik, telfon ya. Apes banget, ketemu Mika di XXI, sempet ngajak kamu tapi kamu tolak. Kamu utang cerita.'
Pesan dari Viant itu ia abaikan. Belum selesai masalahnya saat ini, Viant menyebut-nyebut Mika, membuat kepala Juna pening. Detik-detik menunggu di pendopo, duduk bersila, berhadapan dengan Hana membuat Juna makin merasa waktu berjalan lambat. Apa yang akan ia katakan pada mamanya nanti?
Lebih penting, belasan tahun lewat, apa wanita itu mengenalinya?
Seorang lelaki masuk ke galeri. Usianya sekitar empatpuluh tahunan, mengenakan kaos oblong putih bertuliskan 'Thailand' dengan gambar pantai. Tingginya kurang lebih seratus enampuluh. Kulitnya sawo matang. Pria itu menoleh pada Juna dan Hana.
"Anto, lukisan yang itu!" celetuk Diana, melangkah masuk galeri dari rumah belakang, membawa nampan berisi dua gelas kaca berukir.
Juna merasa jantungnya berdetak lebih cepat saat Diana menghampiri pendopo dan tersenyum lebar pada Hana. Wanita itu dengan santai menyodorkan satu gelas pada Hana lalu menyodorkan satu gelas lainnya pada Juna. Tangan wanita itu masih tersodor di udara ketika ia akhirnya bertatapan dengan Juna. Satu detik dan mata Diana melebar,
Juna menurunkan pandangan matanya ke gelas yang tersodor itu hampir terlepas dari tangan Diana-Hana sudah mengulurkan tangannya untuk meraih gelas itu. Permukaan air jeruk di gelas itu beriak.
Diana menoleh pada Hana. Mulut wanita itu mendadak terkunci. Tubuhnya menegang dan ia membeku setalh menoleh kedua kalinya pada Juna. Tatapannya mendadak melekat, menyusuri wajah Juna baik-baik, memaksa wanita itu membungkuk lebih dalam ketika ia menekuri tiap jengkal wajah lelaki muda di hadapannya.
"Bu Diana?" panggil Hana-menghentak lamunan wanita itu dalam sekejap.
Diana menoleh canggung. "O-oh, maaf." wanita itu tertawa pelan, kikuk, "Tiba-tiba teringat seseorang." Diana menelan ludah. Jantungnya memacu dengan cepat, mengalirkan darah dengan kencang ke seluruh tubuhnya. "Mirip... seseorang."
Hana terdiam, sementara Juna masih betah menunduk.
"Nama kamu siapa, Dik?" tanya Diana lirih-suaranya mendadak bergetar.
Juna tak menyahut. Haruskah ia bilang? Beberapa detik berlalu dan Juna masih bungkam. Pertanyaan itu bagai lenyap ditelan waktu. Namun, Diana menunggunya. Menunggu nama itu mengudara ke pendengarannya. Ia ingin... memastikan.
"Siapa nama kamu?"
Juna nyatanya tak bisa bertahan lagi. Lelaki itu bergerak, bangkit dari duduknya.
"Jun-"
"-Han, aku tunggu kamu di mobil." potong Juna cepat. Ia hanya sempat melirik Hana sedetik.
"Juna!" panggil Hana khawatir.
Mata Diana tak berkedip. Wanita itu membeku begitu nama pendek itu terlontar di udara. Bagai efek magis, Diana menoleh, berbalik, dan menemukan sosok itu menjauh dari galerinya. "Jun... Juna..." Diana meneguk ludahnya agar suaranya bisa terdengar jelas. "Arjuna?"
Hana meraih bahu Diana, mengusapnya pelan.
"Arjuna? Arjuna?" racau Diana. Nama putranya itu seolah tercekat di tenggorokannya. Dadanya sesak. Tidak mungkin, kan? Namun, wajah yang begitu mirip dengan suami pertamanya itu memaksa Diana mengingat dengan keras sosok putranya. Garis wajah putra yang ia tinggalkan belasan tahun lalu itu tak setegas sekarang. Sisa-sisa ingatannya pada putra sulungnya seolah memukul hati Diana. Benarkah prasangkanya?
Wanita itu menoleh pada Hana. Wajah cantik perempuan muda di hadapannya menjadi berbayang, tak lagi fokus karena cairan hangat yang memenuhi kelopak matanya. Beberapa detik bertukar pandang, Diana lalu menggeleng cepat.

KAMU SEDANG MEMBACA
perfect love
Fanfiction𝐟𝐭. 𝐤𝐢𝐦 𝐬𝐞𝐨𝐤𝐣𝐢𝐧 "If God can take away something you never imagined losing, then God can replace it by something you never imagined owning."