22

88 17 0
                                    

"Han, Han..." panggil Rara.

Hana memainkan garpunya lalu memakan mi instan dari kafetaria menu makan siang. Diabaikannya Rara. Dibiarkan sahabatnya itu mengoceh sekenanya. Konsentrasi Hana sudah buyar. Banyak pekerjaannya hari ini yang tak bisa selesai sesuai workplan-nya sendiri. Semuanya karena Juna. Memikirkan lelaki itu membuat isi kepala Hana buntu. Lalu sekitar dua jam lalu, atasannya itu bilang bahwa besok lelaki itu akan pergi ke daerah Karawang, mengecek kegiatan pabrik selama beberapa hari.

Awalnya, Hana berpikir ia akan lega. Berada di dekat lelaki itu membuat Hana mulai merasakan sindrom salah tingkah.

Namun sejak jam sebelas siang, lelaki itu pergi keluar. Sekali ini, penyakit baru menggerogoti dada Hana. Entah sejak kapan, ketidakhadiran Juna membuatnya merindu.

"Hana! Apa sih kok diem gitu? Ngajak makan ke sini lagi. Aku terlanjur pesen nasi bebek sambel korek tadi. Gini, kan, aku makan dobel," semprot Rara. "Ngambek lagi sama Pak Juna kaya kemarin-kemarin? Makanya ngajak ke sini?"

"Ini semua gara-gara kamu, tau!" sembuh Hana tak kalah keras. Hana memasang muka sebal sembari mengembuskan napas keras. Dagu perempuan itu naik ketika mengomeli Rara, membuat Rara mematung bingung."

"Eh? Eh, kok ngamuk ke aku?" nada suara Rara turun seketika. "Salah aku apa?"

"Gara-gara kamu selalu ngomong ngaco!"

Rara bukannya tak sadar kalau ia punya mulut yang asal bicara. Namun karena sadar dan tahu kalau ia sering berbicara ngawur, ia jadi tak tahu pembicaraan mana yang sebenarnya dimaksudkan Hana. Rara mengulurkan tangannya, menepuk punggung tangan Hana. "Jangan teriak-teriak, nanti Pak Viant ternyata ada di sekitar sini lagi gimana?"

"Pak Viant ga ada, keluar makan siang dilanjutkan meeting ketemu calon investor baru bareng dia!"

"Dia?" Rara mengerutkan alisnya pada Hana yang mendesah panjang. "Pak Juna?"

Hana menggeser piringnya. Perempuan itu lalu menjatuhkan dahinya di atas meja-membentur-benturkan kepalanya pelan. "Aku sakit. Sakit..."

Rara makin kelabakan. Suara Hana memang tak lagi nyaring seperti tadi. Namun perempuan itu meracau kata 'sakit' sambil membenturkan dahinya-meski tak keras. Rara tentu saja kebingungan dengan tingkah sahabatnya.

"Haaan..." panggil Rara.

"Aku sakit..." suara Hana makin lirih.

"Sakit apa, sih? Please, kamu ini kenapa, sih?"

"Jantungku sakit, Ra."

"Eh, sumpah?!" Rara mulai panik. "Mananya yang sakit? Sesak?"

Kekhawatiran Rara membuat Hana mengangkat wajahnya, menjauh dari permukaan meja. "Jantungku."

Rara membeku.

"Jantungku. Gara-gara kamu. Gara-gara kamu cerita soal bunga mawar itu. Tubuhku jadi aneh. Jantungku jadi berisik."

Butuh beberapa detik bagi Rara untuk menyambungkan kalimat-kalimat pendek Hana dengan keadaan yang ada. Sahabatnya itu lalu memekik tertahan. "Kamu beneran... jatuh cinta sama Pak Juna?" bisik Rara sepelan mungkin.

"Bukannya selama ini kamu mengharapkan itu?"

Rara kehilangan kata-katanya. Namun beberapa jenak, senyumnya tersungging manis. "Demi Tuhan, Han! Kamu ga sadar betapa kerasnya hati kamu? Aku kira... aku kira kamu ga akan benar-benar... jatuh."

Hana merasakan bahunya lemas.

"Berapa kali aku mati-matian... ingin kamu ngebuka hati kamu buat seorang cowo bertahun-tahun ini? Tapi kamu selalu terjebak sama... sama Nathan. Nathan selalu ada dalam otak kamu. Ketidakmampuan kamu untuk maafin dia ngebikin kamu ga bisa ngelepasin dia dari ingatan kamu. Kamu sadar itu, kan?"

Hana tersenyum miris.

Rara mendesis pelan. Senyumnya makin lebar. "Kamu tahu, berapa tahun ini kamu sering ngeliat aku jatuh cinta sama cowo, kan? Tapi aku pengen kamu ngerasain itu. Nyatanya kamu defensif."

"Sorry."

"Aku kira aku salah liat di pantry tadi pagi. Cara kamu tersenyum, merona ngeliat Pak Juna. Aku kira minus mataku nambah," canda Rara.

Hana mendengus.

"Apa yang sudah terjadi? Apa yang kulewatkan? Gimana kamu akhirnya... jatuh?'

Hana menjawabnya dengan gelengan. "Ga tahu kapan pastinya. Kadang aku sebal, kadang aku takjub. Kadang aku kagum, kadang aku ngerutukin orangnya diam-diam. Kadang dia dingin, kadang dia punya selera humor yang bagus. Kadang dia angkuh, kadang dia perhatian."

Rara tak bisa menahan rona yang ikut bersemu di pipinya.

"Aku... ingin mengenalnya, Ra. Dalam sejenak, tiap aku dekat dengan orang itu, aku melupakan... Nathan." Hana menggeleng, meralat kata-katanya sendiri. "Ga, bukan sejenak. Tapi... setiap saat kami berdua bicara, aku lupa kalau aku pernah sakit hati."

Rara mengulurkan tangannya, menggenggam kedua tangan Hana. Hana menarik satu tangannya-merogoh kantung blazer dan mengeluarkan ponselnya dari sana.

Hana menggigit bibirnya, lalu pelan-pelan menyodorkan ponselnya pada sahabatnya. Rara awalnya bingung. Namun saat melihat sebuah foto di sana, mata Rara melebar. "Eh, ini Pak Juna, kan?" sosok lelaki itu memejamkan matanya rapat. "Dapat darimana ini, Han?"

Hana memilih membisu.

Mata Rara terbuka lagi ketika melihat bantal yang ada dalam dekapan lelaki itu. Memperhatikan foto di sana lebih jeli, Rara akhirnya tahu jawabannya. "Ini sofa apartemen kamu, kan, Han? Bantal Minion ini, kan, selalu kamu taruh di sofa depan tv!"

"Please, jangan rame-rame."

Rara menggelengkan kepala tak percaya. Perempuan itu ingin tertawa.

"Dia ketiduran. Sabtu siang kemarin dia datang ke apartemen. Memasak sebagai ganti masakanku yang dulu itu."

"Astaga..." Rara mengepalkan satu tangannya yang tak memegangi ponsel-merasa gemas sendiri.

"Aku ga bisa mendam ini semua sendirian, Ra!"

Rara tertawa pelan. Setelahnya, senyum mengembang di bibir perempuan itu. Hana masih menundukkan wajahnya. Bingung harus berkata apa lagi. Rara tahu apa yang ada di pikiran sahabatnya itu. Hana sedang jatuh cinta tanpa rencana-setelah sekian lama hatinya dikunci rapat oleh bayang-bayang mantan kekasih yang pernah meninggalkan Hana.

"Aku ga pernah melihatmu bertingkah semanis ini. Maksudku... ah, sudah lama rasanya. Bahkan dulu saat Nathan mengejarmu, kamu ga sebodoh ini. Sekarang kamu kelihatan seperti anak SMA yang terperangkap dalam tubuh cewe dewasa."

Hana tertawa. "Tapi, Ra, aku gatau apa yang bakal aku lakukan setelah ini. Pikiran, dia di Bandung cuma tiga bulan. Dan juga... aku ga ngerti cara pikir dia. Aku ga benar-benar mengenal dia."

Rara mengerutkan alisnya.

"Aku gatau apa ada seseorang yang istimewa di hidupnya. Kamu inget, kan, aku pernah bilang kalau mungkin dia pergi malam itu karena telepon dari seorang cewe?" Hana menarik napas panjang. "Orang ga akan tertawa pada lelucon yang sama. Aku ga ingin sakit hati pada sebab yang sama. Aku benci berkompetisi."

Rara paham apa maksud sahabatnya.

Rara ingin Hana bahagia. Maka, ia akan sedikit membantu Hana. Hana positif jatuh hati pada Juna. Rara tak mengenal Juna dengan baik. Maka ada jalan lain yang harus ia tempuh.

Ia butuh bantuan orang lain.

Foto di ponsel yang masih ia genggam memberinya ide.

perfect loveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang