"Pinjam iMac-nya."
Suara berat itu membuat Hana kaget setengah mati. Beberapa menit terakhir, tak ada suara terdengar, dan tetiba, Juna sudah di dalam ruangan-berdiri di belakang kursinya. Hana mendongak memandang atasannya.
"Save dulu datamu."
"Laptop Pak Juna kenapa?"
Juna menoleh sebentar pada Hana-tak menjawab. Tak menunggu lebih lama, lelaki itu mengambil alih iMac Hana. Dengan cekatan, ia menyimpan semua lembar kerja milik Hana-membuat Hana yang duduk di dekatnya terbengong-bengong.
Mata Hana melebar ketika ia mendapati layar monitornya dimatikan. Lelaki yang berdiri merunduk di sampingnya ini mematikan iMac-nya!
"Pak-"
"Pulang. Di luar sudah gelap."
Hana melongo.
"Gimana kalau kamu kecelakaan lagi?"
"Saya tidak naik motor. Saya akan pesan taksi kalau pulang."
Juna melenguh keras. Beberapa detik, keduanya hanya saling bertukar tatapan. Juna paham kalau dirinya sendiri bukanlah tipe orang yang suka berdebat untuk hal-hal yang tak jelas juntrungannya begini. Dan Juna paham pula bahwa perempuan di depannya ini bukan main keras kepala. "Rapikan mejamu. Pulang."
Hana masih memikirkan sanggahan ketika dilihatnnya Juna membuka mulutnya lagi.
"Tunggu aku di lobby. Aku ambil laptop dan tas dulu di ruangan lain."
Hana terpaku-bergeming di posisinya saking bingungnya.
Juna berbalik, bersiap keluar ruangan saat lelaki itu mendadak menghentikan lagi langkahnya di pintu ruangan yang seharian ini selalu terbuka lebar. Lelaki itu menoleh pada Hana, memberinnya jawaban singkat. "Aku antar kamu pulang."
****
"Kamu tidak pernah nonton berita?"
Hana melangkah keluar dari mobil, menjejakkan kakinya ke bumi dengan begitu hati-hati. Menutup pintu mobil, Juna sudah melangkah mendekat ke arahnya. Pertanyaan atasannya barusan terdengar jelas. Tapi Hana tak memahami maksudnya-tak paham jawaban apa yang sebenarnya lelaki itu butuhkan.
"Berita tentang bahayanya naik kendaraan umum sendirian. Kamu itu perempuan atau bukan? Harusnya berhati-hatilah membawa diri."
Setelah mengguman 'oh' pelan, Hana menjawab, "Ini bukan Jakarta, Pak. Lagipula jarak apartemen ke kantor tidak jauh."
Juna mendesah panjang.
"Terima kasih sudah mengantar saya."
"Aku numpang ke toilet apartemenmu."
Perkataan Juna barusan membuat Hana menghentikan langkah. Dilihatnya lelaki itu menoleh ke belakang. Hana terpaksa melangkah lagi. Hana menggeleng. Bukannya lelaki ini barusan mengatakan soal menjaga diri sebagai perempuan? Hana tak paham dengan cara pikir atasannya ini. Menjaga diri apanya? Ah, sudahlah, pikir Hana. Toh, lelaki itu atasannya.
Keduanya beranjak masuk ke dalam lift, berdiri berdampingan.
"Keluargamu tidak ada yang tinggal di Bandung?"
Perempuan itu mengangguk dan berdeham mengiyakan.
"Mereka baik-baik saja dengan kamu tinggal di Bandung sendirian?"
Hana tertawa pelan. "Tentu saja. Bandung cukup aman, kok. Ayah saya tak masalah. Memang ada beberapa kota yang di-banned oleh beliau. Bandung tak masalah. Ayah orang asli sini. Dan ada sanak saudara di kota ini."
"Oh, begitu."
"Kenapa, Pak?"
"Aku punya adik perempuan di Jakarta. Ayahku pasti tidak mungkin mengizinkan adikku tinggal sendirian. Bahkan kalau ayah mengizinkan, aku tidak akan mengizinkannya."
Hana melirik Juna perlahan. "Kenapa? Karena adikmu perempuan?"
Juna tak merespons.
"Apa salahnya mandiri?"
"Dia belum sedewasa kamu."
"Oh, begitu," ungkap Hana. "Jakarta lebih... uhm..." Hana melirik ke langit-langit lift, memikirkan kata yang sopan-tapi tak menemukannya.
"Bejat?" sahut Juna ketika perkataan Hana mengambang ke udara.
"Bukan saya yang bilang, lho, ya. Padahal saya tadi cuma mau bilang 'mengkhawatirkan'." Hana tertawa kecil. "Saya dewasa karbitan, sih. Sejak lulus SMA sudah di Bandung. Dulu sempat kost, tapi kakak-kakak saya menyarankan saya cari kontrakan. Ayah saya akhirnya menyediakan satu apartemen yang ga gede-gede amat untuk saya tinggali. Kalau kontrakan rasanya akan terlalu sulit diurus. Lagipula, saya jarang di tempat."
"Kelihatan, kok. Kamu lebih betah di kantor daripada di rumah."
Hana menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
"Mungkin akan beda kalau kamu berumah tangga."
Eh? Hana menelan ludah. Tunggu, pembahasan apa ini?
"Berapa umurmu?"
"Duapuluh tujuh."
"Punya pasangan?"
Hana terbatuk tiba-tiba.
"Kalau aku jadi ayah atau kakakmu, kalau terpaksa harus melepaskan kamu untuk tinggal sendiri di kota besar, aku akan paksa kamu untuk nikah. Paling tidak,ada yang menjagamu."
Hana merasa ingin mendengus sekeras-kerasnya. "Untungnya saya bukan adik atau anak Pak Juna," kelakar Hana sekenanya.
Hana melangkah secepat mungkin keluar dari lift begitu pintunya terbuka-mengabaikan Juna. Namun karena langkah perempuan itu pendek-pendek sebab luka di kakinya, Juna dengan mudah bisa menyusul di sampingnya.
"Kamu anak ke berapa? Kakak-kakakmu tidak ada yang protective?" tanya Juna tenang.
Hana sudah lelah memaksa wajahnya tersenyum. "Anak bungsu dari tiga bersaudara. Kakak-kakak saya sibuk dengan keluarganya masing-masing."
"Tinggal kamu yang belum menikah?"
"Tidak, kakak saya yang nomor dua masih lajang." Hana menghentikan langkahnya. Perempuan itu membuka kunci pintu apartemennya sembari menoleh pada Juna. "Mungkin itu sebabnya, tidak ada yang rebut soal kapan saya menikah."
Juna mengangguk-angguk.
Hana membuka pintu apartemen dengan mudah. Perempuan itu melangkah masuk lalu mempersilahkan Juna. Berjalan pelan, Hana mengarahkan atasannya itu ke direksi kamar mandi apartemen. Juna yang paham langsung melangkah maju.
"Ngomong-ngomong," ucap Hana lirih, Juna menghentikan langkahnya, menoleh ke belakang. Hana melanjuutkan, "Pak Juna juga, bukannya masih sendiri? Kenapa tidak mencari pasangan?"
"Laki-laki, kan bisa menikah umur berapa saja," jawab Juna. "Lagipula laki-laki tidak boleh dilindungi."
Hana tersenyum kecut mendengarnya. Begitu saja?
Perempuan itu kehabisan kata-kata. Lelaki itu sudah membelakanginya, menuju kamar mandi dan meninggalkan Hana. Hana mengembuskan napas panjang. Sejengkel-jengkelnya ia pada atasannya, Juna sudah bersikap baik padanya dengan mengantarnya pulang. Ini kali kedua.
Hana melangkah pelan menuju dapur. Di luar gerimis. Membuat cokelat panas sepertinya bukan ide yang buruk.

KAMU SEDANG MEMBACA
perfect love
Fanfic𝐟𝐭. 𝐤𝐢𝐦 𝐬𝐞𝐨𝐤𝐣𝐢𝐧 "If God can take away something you never imagined losing, then God can replace it by something you never imagined owning."