39

72 17 2
                                    

Kabar bahwa GM dari Jakarta itu memeluk seseorang di tempat parkir restoran sampai ke telinga Hana. Seharian ini, ia bekerja di ruang lain untuk mencari beberapa data pekerjaan. Ketika beberapa temannya yang memilih makan siang di luar menceritakan itu, pandangan Hana langsung tertuju pada Rara. Hana menutup laptopnya.

"Mika?" tanya Hana sambil menatap penuh pada Rara.

Dada Rara naik. Perempuan itu mengambil napas panjang sebelum akhirnya mengangguk.

Hana memejamkan matanya beberapa detik.

Rara berangsung mengambil duduk di dekat Hana. "Kalian gimana?"

"Ga gimana-gimana."

"Kamu belum ngehubungin dia, ya?"

"Ga mood."

"Han..." Rara mendesah panjang. "Aku denger dari anak GA, tiket kereta untuk besok ke Jakarta udah siap, lho."

Hana membuka laptopnya lagi.

"Kamu mau semuanya berakhir tanpa kejelasan begini?"

"Kenapa harus aku yang menghubungi dia?" Hana menoleh cepat pada Rara. "Kenapa jadinya seolah aku yang salah?"

Rara tersenyum kecut. "Kamu makin marah, ya? Denger kabar soal Mika dan dia pelukan?"

Hana sempat terdiam beberapa detik sebelum akhirnya menggeleng pelan. "Ga juga," jawabnya sembari menghembuskan napas panjang. "Setelah aku bicara sama Mika kemarin Minggu, aku terpikir sesuatu.Sebenernya bukan Nathan yang paling membuatku kesal, tapi Mika. Bukan dikhianati Nathan, tapi dikhianatin Mika yang pernah jadi teman baikku juga. Aku kesal karena apa yang udah terjadi ga akan bisa diperbaiki. Tapi aku harus melihat ke depan, Ra. Aku ingin Juna ada di depanku. Tapi kalau dia sendiri sibuk dengan pikirannya, aku bisa apa selain membiarkannya?"

Rara menunduk perlahan.

"Aku ingin membantunya. Tapi kalau dia ga membiarkanku membantu memaafkan dirinya sendiri, ya mana bisa?"

Rara mengulurkan tangannya.

Tiba-tiba, ponsel Hana berdering.

Juna.

Mata Hana melebar, begitu pula dengan Rara. Hana terpaku melihat nama Juna tertera di layar ponselnya. Namun tangan perempuan itu terlalu kaku untuk meraihnya. Ia masih heran ketika ponselnya berhenti berdering.

"Han? Matiii!" Rara memekik pelan. "Kenapa ga kamu angkat?" bisik Rara bingung.

"Aku... kaget."

"Astaga."

"Aku harus bicara apa? Maksudku... tiga hari ini, kami ga bicara sama sekali. Apa dia mau ngebahas soal Mika--"

Ponsel Hana berdering lagi. Kali ini Rara menyambar ponsel Hana yang tak tersentuh sedari tadi di atas meja. Rara menerima telfon Juna dan langsung menyodorkan layarnya pada Hana.

"Ngomong," bisik Rara.

Hana menggigit bibirnya dan menarik napas dalam-dalam.

"Han..."

"Kamu dimana?"

Juna tak menyahut.

"Aku dengar kamu ketemu Mika."

Beberapa detik dan Juna menggumam 'iya'.

Hana lagi-lagi menarik napas panjang.

"Besok aku balik ke Jakarta."

"Oke."

"Paginya aku ga mampir ke kantor. Aku dan Viant langsung ke stasiun."

"Aku tau."

"Han, aku..."

"Apa?"

"Mika bicara apa ke kamu?"

"Dia bilang kamu yang menyuruh dia mendatangiku."

"Iya." Juna berdeham pelan. "Sekarang apa?"

Hana mengerutkan alis.

"Kamu tau kalau Nathan ga  pernah berkhianat ke kamu, juga sekarang kamu tau kalau aku adalah orang yang menyebabkan kematian dia... Apa yang akan kamu lakukan?"

"Apa yang kamu harapkan, Jun?"

"Aku merasa bersalah. Merasa ga seharusnya takdir seperti ini. Merasa makin bersalah ke Nathan. Dan membayangkan kalau kamu masih cinta ke Nathan---"

"Apa itu membuat kamu inngin menyudahi semuanya? Antara aku sama kamu?" Kalimat Hana mulai terdengar bergetar. Perempuan itu banyak menunduk, mencoba menyembunyikan air matanya yang bisa terlihat Rara kapan saja.

"Hanaya..."

"Siapa yang pernah mengajariku untuk memaafkan? Siapa yang mengajariku untuk melupakan apa yang sudah lewat?" Hana membisikkannya lebih lirih. Tubuhnya makin merunduk, perempuan itu hampir meringkuk di kursinya, hampir menyandarkan keningnya di tepi meja. "Apa kamu ingin lari?"

Juna tak menyahut.

"Aku ga pernah menyalahkan kamu. Tapi apa kamu sebegitu inginnya aku menyalahkan kamu atas kematian Nathan?" Butiran air mata meluncur bebas di pangkuan Hana. "Bahkan jika aku menyalahkan kamu, apakah kalau aku bilang sekarang bahwa aku memaafkan kamu atas kematian Nathan apa itu ga cukup?"

"..."

"Hubungan kita mendadak ga jelas karena kamu ga mau maafin diri kamu sendiri."

"Hana, aku--"

"Aku sayanng sama kamu. Sampai sakit rasanya."

Setelah kalimat terakhirnya, Hana mematikan ponselnya.

****

Juna tak menemukannya. Ia sempat meminta Viant untuk mampir ke SIER sebelum keduanya meluncur ke PIER. Tapi di kantor, bagian HRD mengatakan bahwa Hana izin tak masuk dengan alasan mendadak. Pemberitahuan izin itu muncul lewat email. Juna mencoba menelfonnya, tapi ponsel Hana tak aktif. Rara pun tak punya jawaban apa-apa.

Pulang dari PIER, Juna masih mencoba mendatangi apartemen Hana. Namun, berkali-kali membunyikan bel tak menghasilkan apa-apa. 

Juna frustasi, dan Viant hanya mengatakan sebaiknya Juna bergegas pergi mengejar kereta.

"Toh, minggu depan kamu kosong, kan? Mampirlah ke Bandung."

Memikirkan kalimat Hana membuat Juna ingin menemui perempuan itu. Namun, Hana hilang bak ditelan bumi. Perempuan itu benar, ia-lah yang mengajari Hana untuk memaafkan dan melupakan sesuatu yang menjadi beban di hatinya. Kenapa ia bisa lupa?

"Kalau ada apa-apa pasti kukabari."

Juna memijit keningnya.

"Sudahlah, toh, bukannya ini yang kamu inginkan? Mengakhiri semuanya, lalu pergi. Aku ingat perasaan kamu terhadap kota ini tiga bulan lalu. Kota ini bagi kamu seperti mimpi buruk, kan? Viant mendesis pelan, heran sekaligus menyindir Juna.

Juna sadar bahwa kehadiran Hana telah mengubahnya.

****

[31 Agustus 2020]


perfect loveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang