Laporan hasil kerja Juna selama tiga bulan telah ia kirimkan ke jajaran direksi perusahaan. Dalam minggu ini ia harus kembali ke Jakarta dan selang tak sampai seminggu, ia akan meluncur bersama para petinggi perusahaannya langsung ke daerah industri PIER. Gudang produksi itu akan go live pada bulan ini. Target pekerjaannya selesai dengan cepat.
Lelaki itu menutup layar laptopnya. Pandangan matanya teralih pada brosur perumahan di Summarecon. Juna mendesah pelan. Lelaki itu belum bertemu Hana dua hari ini. Perempuan itu izin tak masuk kemarin. Hari ini sepertinya Hana membawa laptopnya ke ruangan lain. Beberapa email menyangkut pekerjaan masuk padanya. Juna ingin mengajaknya bicara. Tapi, membuka jendela chat dengan Hana saja Juna ragu.
Dua hari ini, Mikaila terus berusaha menghubunginya. Pesan pertama yang ia dapatkan, Mikaila mengabarinya bahwa perempuan itu sudah menemui Hana. Ia sudah menjelaskan semuanya pada Hana. Tapi sekarang apa?
Juna tak tau harus mengambil langkah apa. Adit pegawai dari General Affairs Departement sudah menanyainya apa ingin tiket kereta ke Jakarta untuk besok atau lusa. Ia harus segera ke Jakarta.
Telfon di meja Juna berdering.
"Jun, besok kita mampir ke PIER untuk final check, ya. Setelah itu kamu bisa berangkat ke Jakarta." Suara Viant di seberang membuat Juna berdeham.
Ponsel di meja Juna bergetar. Nama Mikaila tertera di layarnya.
Juna, bisakah kita bertemu?
Juna tak ingin menemui Mikaila lagi. Tapi lelaki itu tak menemukan alasan untuk menghindari Mikaila selamanya.
Kemungkinan besok aku akan balik ke Jakarta. Aku punya sedikit waktu siang ini. Kamu bisa ke restoran chinese food di sebelah kantorku.
Jemari Juna mengetuk layarnya dengan cepat. Mengingat percakapan dengan Julian, Juna paham kalau ia harus menuntaskan urusannya dengan Mikaila. Enam tahun yang sudah lewat itu harus diakhiri hari ini. Toh, kenyataannya sudah terkuak. Ia tak punya alasan untuk tetap menjadi 'penjaga' bagi Mikaila. Rasa bersalahnya untuk Mikaila sudah tidak ada.
"Jun?"
"Sorry, lagi ngebales pesan dari Mika,"
"Oh,"
"Lebih cepat lebih baik, Yan. Aku harus segera mengakhiri semuanya. Perhatian-perhatianku sebagai penebus kesalahan karena Nathan harus selesai sekarang."
"Bagus. Selesaikan urusanmu."
Juna menutup telfonya. Lelaki itu bangkit dari kursinya dan meraih telfonnya, mengantonginya dan bersiap pergi dari ruangan. Ketika matanya menangkap brosur perumahan yang menarik perhatianna, lelaki itu merihnya dan memasukkannya ke dalam laci. Mendesah pelan, lelaki itu berangsung melangkah pergi.
Karena tak terlalu jauh, Juna memilih jalan kaki. Tak butuh waktu hingga limabelas menit, lelaki itu sudah sampai di parkiran mobil restoran. Matanya menangkap mobil milik Mikaila. Berbelok, Juna memiliih langsung menghampiri mobil Mikaila yang sedang berusaha parkir. Mikaila yang menyadarinya buru-buru turun dari mobil.
"Juna?"
Juna hanya tersenyum tipis.
"Kamu udah makan siang?"
"Ga lapar. Kamu ingin makan di dalam? Aku punya beberapa menit."
Mikaila perlahan menggeleng.
"Kalau begitu, di sini aja."
Mikaila tertunduk.
"Kamu mau bicara apa?"
"Apa sekarang bicara denganku saja membuatmu ga nyaman, Jun?"
Juna tercenung, tak menyangka Mikaila akan seterbuka itu mengungkapkannya. Perempuan itu akhirnya bisa membacanya.
"Berkomunikasi denganku juga membuat kamu ga nyaman, ya?"
Juna menghela napas panjang. Angin Bandung membelai tengkuknya dengan lembut. Beberapa juga menyentuh sisi rambut Mikaila, menggoyangkannya. Juna mengangkat tangannya, menyentuhkan jemarinya pada sebuah daun kering yang menjatuhi kepala Mikaila. Hanya sedetik, Juna menarik tangannya lagi.
"Aku minta dia ngelepasin kamu." ujar Mikaila tiba-tiba.
Mata Juna melebar. Ada sesuatu yang bergemuruh di dadanya. Mendadak ia ingin membuka mulut, ingin emosi.
Namun Mikaila menitikkan air matanya, tiba-tiba terisak. "Aku kesal. Hubunganku dengan Hana ga akan pernah kembali baik. Hidupku dan dia bukan film yang akan berakhir bahagia. Aku terima semua itu. Saat aku ga bisa memiliki Nathan, aku belajar menerima itu. Dia dengan Hana atau dia meninggal, aku tetap ga bisa memilikinya," jelas Mikaila terbata. "Lalu kecelakaan itu mempertemukan kita. Tapi hasilnya tetap sama. Kamu sama Hana. Aku tetap jadi yang paling disakiti meski aku terlihat jadi orang paling jahat di antara hubungan kalian."
"Mik---"
"Aku bisa ada di dekatmu karena kamu mengasihaniku, kan?"
Juna mengangkat kedua tangannya. Lelaki itu memeluknya perlahan. "Aku mengasihani kamu atau aku pergi, keduanya akan menyakiti kamu. Tapi mengasihani kamu selamanya akan menyakiti semua pihak. Apa kamu senang, mendapatkan rasa bersalah dariku?"
Mikaila terdiam.
"Sorry."
"Kenapa Hana?" Mikaila terisak lagi.
"Sorry..." Juna mengucapkannya berulang-ulang sebelum melepaskan pelukannya dan berbalik pergi.
****
[26 Agustus 2020]
KAMU SEDANG MEMBACA
perfect love
Fanfiction𝐟𝐭. 𝐤𝐢𝐦 𝐬𝐞𝐨𝐤𝐣𝐢𝐧 "If God can take away something you never imagined losing, then God can replace it by something you never imagined owning."