"Teh, Teteh?"
Hana menggigil. Perempuan itu mengerjapkan matanya. Suara panggilan orang-orang yang mengangkat tubuhnya menepi dari jalanan aspal yang mulai ramai membuat perempuan itu menggigit bibirnya kuat-kuat. Kedua tangannya bergetar hebat. Giginya bergemerutuk dan Hana kehilangan kata-katanya.
Perempuan itu syok. Kedua kakinya terasa panas. Nyeri terasa kuat di paha dan lututnya. Tanpa menengok pun, ia bisa membayangkan kalau jas hujannya pasti robek-begitu juga celananya. Mungkin malah sampai ke kulit kakinya.
Hana menangis. Air matanya meluncur sama kuatnya dengan air hujan yang menabraki permukaan wajahnya. Perempuan itu terngadah, dibaringkan oleh orang-orang di tepian jalan-menengadah memandangi angkasa gelap. Berulang kali Hana mengerjap.
"Teteh, rumahnya dimana?"
"Kerja dimana? Ada nomor yang bisa ditelfon? Keluarga?"
Keluarga Hana tak tinggal di Bandung. Perempuan itu tinggal sendiri di Bandung sejak kuliah hingga bekerja sekarang. Harus menghubungi siapa?
Nama Rara terlintas di kepalanya.
"Tas... tas s-saya?"
Seorang lelaki dengan cekatan meraih tas Hana.
"Resleting d-depan..."
Tak butuh beberapa detik untuk lelaki itu menyodorkan ponsel Hana. Perempuan itu dengan gugup menekan layar ponselnya, mencari kontak Rara di sana. Jemarinya yang bergetar akhirnya bisa menemukan nama Rara. Nada sambung terdengar. Tapi tak ada jawaban. Hal itu membuat Hana mulai sesenggukan-susah bernapas.
"Nomor lain, Teh?"
Hana merasa ingin menggelengkan kepalanya.
"Eh, ini dibawa ke rumah sakit aja? Paling deket ke RS Borromeus. Gimana ini? Kakinya berdarah-darah. Dagunya berdarah juga. Sikut tangannya juga lecet," ujar penolongnya pada pengguna jalan yang lain. "Pak, pinjam kendaraan kantornya aja," ujarnya pada seorang petugas satpam dari pabrik terdekat dari lokasi kecelakaan.
"Boleh, sih. Dibawa ke pos dulu aja."
"Teh, dibawa ke rumah sakit, ya?"
Hana tercenung. Tunggu, Juna tadi menyebut kalau ia bersama dengan Viant, kan? Hana mengetuk layar ponselnya lagi. Ia ingat, ia punya nomor kontak lelaki itu. Masih dengan jari-jari tangan yang bergetar, Hana menekan nomor kontak Viant.
Aktif.
Tak butuh beberapa lama, panggilan itu tersambung. Suara sapaan Viant di seberang sana membuat Hana ingin menangis lagi. "Pak..."
Hana menangis. Ia menyodorkan ponselnya pada lelaki yang bersimpuh di dekatnya. Dengan sigap, lelaki di dekatnya itu mengabari Viant. Mengabarkan bahwa Hana kecelakaan.
****
Karena kondisi Hana yang kesakitan ketika diminta menggerakkan kakinya, perempuan itu akhirnya dibaringkan di pos penjagaan sebuah pabrik lain sembari menunggu Viant datang. Lelaki itu memastikan kalau ia akan datang secepat mungkin pada Hana untuk membawa perempuan itu ke rumah sakit. Hana memercayainya. Hanya Viant harapannya sekarang.
Perempuan itu mencoba memejamkan mata, berharap untuk tenang dan melupakan rasa nyeri di sekujur tubuhnya. Namun sekeras apa pun ia mencoba, bayangan kecelakaan tadi membuatnya ketakutan. Sangat ketakutan. Ia beruntung karena tak pingsan.
Hal pertama yang Hana lakukan ketika tubuhnya berhenti diseret di atas aspal adalah menoleh ke belakang, segera memastikan apakah di belakangnya ada kendaraan lain atau tidak. Ia khawatir juka di belakangnya ada kendaraan lain yang tengah melaju dan bisa menabraknya kapan saja. Hana melupakan tas dan motornya yang terlempar jauh. Ia meratap keras ketika ia tak bisa bangkit. Syukurlah, begitu ia terseok-seok karena tak bisa mengangkat tubuhnya, banyak orang yang segera berhenti dan membantu Hana-membopongnya ke tepi jalan. Perasaan seolah bisa mati kapan saja itu membuat Hana menggigil lagi.
"Hana?!"
Hana membuka perlahan kelopak matanya.
Suara itu bukan suara Viant. Perempuan itu menoleh dan malah mendapati atasannya tergesa-gesa dari mobil ke arahnya. Hana membeku.
"Kamu kenapa bisa kaya gini?"
Sosok Juna di hadapan matanya membuat lidah perempuan itu kelu. Keduanya saling berpandangan beberapa detik hingga ia bisa merasakan jemari Juna menyentuh dagunya dengan perlahan. Lelaki itu mendesis pelan, menyingkirkan beberapa helai panjang rambut Hana yang menempel lengket di dagu Hana yang berdarah. Hana berjengit.
"Kakimu sakit?"
Hana mengangguk. Rasa berdenyut di ujung kedua lututnya tak bisa membohongi Hana. Nyeri paling sakit terletak di sana.
Juna menoleh ke samping. "Yan, buka pintu tengah mobilmu!"
Viant ternyata datang. Lelaki itu yang menyetir kendaraannya. Setelah berbincang beberapa saat untuk menitipkan kendaraan Hana pada seorang petugas satpam, Viant bergerak sesuai perkataan Juna.
"Kita ke rumah sakit sekarang, ya."
Lelaki di samping Hana ini bahkan masih mengenakan safety vest-salah satu perlengkapan APD untuk memasuki gudang. Hana benar-benar tak ingin membayangkan bagaimana atasannya ini bisa ada di dekatnya sekarang. Wajah yang biasanya dingin itu terlihat khawatir-dan seolah lebih panik ketimbang Viant.
"Hana, maaf, ya," ujar Juna sambil memeluk Hana, bersiap mengangkat tubuh perempuan itu dalam gendongannya. "Kamu pegangan erat di bahuku."
Hana memeluknya.
****
Tau kok pendek, tapi besok setelah nilai UTBK aku keluar, aku update lagi hehehe.
[Senin, 27 Mei 2019]

KAMU SEDANG MEMBACA
perfect love
Fanfiction𝐟𝐭. 𝐤𝐢𝐦 𝐬𝐞𝐨𝐤𝐣𝐢𝐧 "If God can take away something you never imagined losing, then God can replace it by something you never imagined owning."