8

116 24 8
                                    

"Kursi mobilnya... basah. Jas hujannya... belum sempat dilepas."

Suara lirih Hana memecah keheningan. Viant yang sedari tadi konsentrasi melajukan mobilnya melirik ke belakang sedetik. Perempuan itu membuat Viant tersenyum. "Nanti saja dilepas di rumah sakit." jawab Viant.

Suara Hana tadi begitu lirih. Nada suaranya datar, tak seperti biasa. Efek syok.

Juna tak melakukan apa pun selain memeluknya.

Hana duduk menyamping, di bagian tengah Lexus RX300F milik Viant. Di ujung salah satu pintunya, Juna duduk diam. Tangan kirinya memeluk Hana dari samping-membiarkan sebagian tubuhnya jadi tempat bersandar Hana. Kaki Hana yang terluka dibentangkan lurus. Dalam kondisi temaram, Hana dapat melihat bagian lutut celananya sobek juga kulit kakinya yang berdarah-darah.

Hana hanya bisa termenung. Hari ini, ia merepotkan banyak orang, termasuk lelaki yang kini ia jadikan sandaran. Jika Hana berjengit, tangan kiri lelaki itu akan membelai lengannya. Tak ada kata-kata. Hanya kehangatan tubuh yang seolah ingin Juna bagi untuknya.

Hana tak pernah merasa setenang ini dalam sejam terakhir.

"Maaf," desahnya lirih. "Maaf saya merepotkan Pak Juna. Saya-"

"Pertama kali kecelakaan?" tanya Juna, memotong ucapan Hana. "Kamu syok."

Hana mengangguk lemah.

"Lain kali jangan pernah lagi pulang malam. Meski kamu mendapat atasan sepertiku, kamu tetap punya hak untuk pulang tepat waktu."

Hana mengangguk lagi. Bahu Hana bergetar tanpa sebab. "Saya... takut."

Juna mengeratkan pelukannya. Hana memejamkan mata.

"Aku juga pernah mengalami kecelakaan," ujar Juna pelan. "Sudah lama. Malam-malam juga. Dan hujan. Seperti sekarang." Juna menghela napas lirih. "Rumah sakitnya sudah dekat. Nanti jangan pikirkan apa-apa."

"Terima kasih banyak."

Suasana mobil sunyi kembali setelah Hana mengucapkannya. Tak sampai semenit hingga mobil Viant memasuki halaman UGD. Viant segera memarkir kendaraannya dan masuk ke dalam gedung UGD-menghubungi petugas UGD. Juna membuka pintu mobil dan bergerak selembut mungin. Lelaki itu turun terlebih dahulu dan bersiap mengangkat tubuh Hana lagi.

"Pak?" Hana tampak ragu-ragu sesaat.

Juna menunduk, menatap balik mata Hana. "Ya?"

"Maaf, badan saya berat." ucap Hana polos.

Untuk pertama kalinya, Hana melihat lelaki itu tersenyum padanya.

****

Kedua lelaki itu menunggui Hana yang masih ditangani dokter sekaligus menunggui perawat yang mengurusi keperluan administrasi Hana. Viant keluar dari UGD, mencari tempat untuk merokok. Juna memutuskan untuk menemaninya. Mendadak, tangan kanan Juna terulur pada Viant.

"Ngapain tanganmu?" tanya Viant bingung.

"Berikan aku rokokmu." Juna menggeratakan giginya karena dingin. "Kamu ga lihat bajuku lebih basah daripada bajumu?"

"Salahmu sendiri keenakan meluk Hanaya," ejek Viant. "Lagi pula, bukankah rokok membunuhmu?" kelakar Viant. Meski menyindir Juna, lelaki itu tetap mengeluarkan pematik dan rokok dari saku kemejanya. Asap tembakau pun makin mengepul di sekitar tempat Juna dan Viant duduk.

Hampir jam sepuluh malam. Menurut informasi terakhir dari dokter jaga di UGD, akan dilakukan pembedahan kecil untuk memastikan taka da kerikil atau potongan aspal di dalam luka lecet di lutut perempuan itu. Sisanya hanya luka lecet.

"Ngomong-ngomong, motor Hanaya masih kutitipkan di pabrik tadi."

"Lalu?" tanya Juna dengan nada bingung.

"Keluarganya ga tinggal di Bandung. Tapi ada sanak keluarga jauh yang tinggal di daerah Panyileukan."

"Kamu mau ngehubungi keluarganya?"

"Tadi aku sudah minta nomornya ke Hanaya," terang Viant pelan. "Tapi Hanaya menolak mengabari keluarganya. Dia takut tantenya akan mengabari orangtuanya dan itu akan bikin orangtuanya khawatir. Aku tadi ngecek isi tasnya. Ada kunci apartemen."

Perempuan itu tinggal jauh dari keluarganya-sepertinya.

"Untuk malam ini, kita minta dokter atur supaya Hana rawat inap. Besok biar aku antar dia pulang. Sekarang kamu pulang aja."

"Aku gamau ninggalin Hanaya cuma denganmu." canda Viant enteng.

"Jangan gila. Sudah, pulanglah. Kamu ngerti, aku ga terlalu suka tinggal di rumah Oomku. Besok pagi-pagi aku akan pulang dan mengambil mobil Julian. Sepertinya aku harus mengambil tawarannya." Juna menyesap dalam-dalam batang rokoknya. Dalam waktu singkat, bara apinya sudah mendekati pangkal. Lelaki itu melirik Viant yang masih tersenyum sambil memandangi jalanan depan. "Kenapa senyum-senyum begitu?"

"Dunno. Mungkin karena kamu melunak."

Juna mengerutkan alisnya.

"Perasaan, kemarin-kemarin kamu dingin banget sama Hanaya."

Juna menghela napas panjang lalu mengudarakan asap dari paru-parunya. "Aku rasa itu karena aku paling ga bisa denger yang namanya kecelakaan. Pernah mengalami kejadian seperti itu rasanya mengerikan. Korban kecelakaan butuh sekali pertolongan pertama, Yan."

"Ayolah, Jun. Jangan terus-terusan menyalahkan dirimu sendiri."

Juna menangkup wajahnya yang berubah letih. Sekelebat-sekelebat ingatan mampir lagi dalam otaknya. "Dia mati karena menolongku."

Viant memilih bungkam.

"Melihat Hana yang ketakutan seperti tadi, membuatku ingat... Mika."

****

selamat berbuka semuanya

[Selasa, 28 Mei 2019]

perfect loveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang