Hana duduk termenung di apartemen. Ada Rara yang membawakannya cokelat hangat setelah keduanya selesai makan siang. Rara membantu membereskan dapur tadi. Kini keduanya hanya duduk di depan televisi, menyetelnya, namun tak benar-benar menonton program-program di hadapan mereka.
Rara melirik Hana berkali-kali. Sahabatnya lebih banyak menunduk. Memandangi busa-busa tipis di permukaan dalam cangkirnya.
"Apa yang ngebikin kamu ikut stress begini?"
Hana menggeleng. "Entahlah, Ra."
"Dia belum ngehubungin kamu?"
Hana menggeleng lagi. Perempuan itu melepaskan cangkirnya, meletakannya di atas meja lalu menurunkan kedua kakinya dari sofa. Hana merogoh kantung sweater-nya, mengeluarkan ponselnya dari sana lalu memeluk lagi kakinya. Hana menumpukan dagunya di atas kedua lututnya sembari memandangi layar ponselnya.
Tidak ada pesan ataupun telepon dari Juna.
"Dia putus asa... stress... ironis sekali. Padahal aku ga segitunya."
"Mungkin dia kaget karena ternyata baik kamu atau dia sama-sama punya hubungan sama Mikaila. Juga, dia ngira Mika itu pacarnya Nathan."
"Harusnya itu bukan problem, kan?" desah Hana lirih. "Aku dan Juna membangun hubungan baru. Nathan udah ga ada. Itu kenyataan. Dan soal Mika, aku udah memposisikan diriku sendiri. Aku terang-terangan menunjukkan ke Mika kalau aku ga akan ngebiarin dia ngambil Juna seperti dia ngambil Nathan dulu. Lalu apa yang jadi masalah buat Juna sekarang? Kenapa dia ga ngehubungin aku?"
"Kamu udah nyoba ngehubungin dia?"
"Kemarin aku ninggalin dia. Aku minta dia nenangin pikirannya. Masa aku yang harus ngehubungin dia? Kukira kalau dia udah fine, harusnya dia nelfon aku, kan?"
"Berarti dia masih banyak pikiran."
"Bahkan... lukisan yang ada di mobilnya belum diantar ke sini."
Rara menghembuskan napasnya berat. "Kalau kamu khawatir, kamu aja yang ngehubungin dia. Bicara berdua. Selesaikan sama-sama. Kurasa, banyak sesuatu yang dia tanggung sendiri."
Hana memandangi ponselnya lagi. Perempuan itu memandangi nomor kontak Juna, hampir mengetuk layarnya untuk menelfon---sebelum akhirnya bel apartemennya berbunyi.
Ada yang datang. Apa itu Juna?
Hana langsung melompat turun dari sofa. Ia meletakkan ponselnya di sofa dan berjalan cepat ke pintu apartemen, berharap dugaannya benar.
Rara ikut bangkit dari sofa, berjalan beberapa langkah di belakang Hana. Pintu apartemen itu terbuka, dan dalam beberapa detik, Rara bisa melihat sosok tamu yang datang siang ini. Pantas saja Hana terlihat membisu.
Sosok itu adalah Mikaila.
****
"Aku ke dapur dulu untuk nyuci piring makan kita tadi. Kubuatkan teh sekalian."
Mikaila menunduk memberi salam pada Rara. Ia kenal Rara, meski dulu tak sedekat hubungannya dengan Hana. Rara sempat menatapnya tanpa ekspresi sebelum perempuan itu berbalik dan melangkah pergi ke dapur.
Mikaila mengeratkan genggamannya pada tali tas kecil yang dijinjingnya sedari tadi. "Boleh... aku masuk?"
Hana menepi, memberi gestur Mikaila agar perempuan itu masuk.
Mikaila melangkah masuk sembari mengedarkan pandangannya. Tak butuh waktu lama sampai ia menemukan sofa ruang tengah. Perempuan itu menoleh ke belakang, melirik Hana yang menunjuk ke arah sofa, memberi tanda agar Mikaila duduk di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
perfect love
Fiksi Penggemar𝐟𝐭. 𝐤𝐢𝐦 𝐬𝐞𝐨𝐤𝐣𝐢𝐧 "If God can take away something you never imagined losing, then God can replace it by something you never imagined owning."