15

91 19 0
                                    

"Mau ngamuk sampai kapan, Han?"

Hana merengut. Perempuan itu menggembungkan pipinya. Sesekali menyedot isi gelasnya lewas sedotan, sesekali cuma melamun sembari memandangi pegawai-pegawaiain yang mampir ke kantin samping gedung kantor. Ini adalah hari ketiga Hana begitu moody---seolah sedang PMS. Nyatanya, apa yang Hana ceritakan memang sempat membuat Rara ikut sebal. Minta dimasakkan, lalu pergi begitu saja?

"Coba kamu bayangin. Bayangin jadi aku..."

Rara sampai bosan mendengar keluhannya. Karena tiga hari berjalan adalah waktu yang cukup lama untuk seorang Chalondra Hanaya uring-uringan. Rara tahu betul sahabatnya ini. Ngambek bukanlah kebiasaan Hana.

"Saking sumpeknya, kubuang masakanku. Langsung ga mood makan. Ga sempet kuangetin lagi, ujungnya basi," cerocos Hana tak henti. "Ga mau lagi aku diantar pulang. Mulai sekarang aku anti sama yang namanya lembur."

Tingkah Hana lama kelamaan membuat Rara tertawa. "Sampai sebegininya. Kalian kaya orang pacaran lagi break. Sadar, ga?"

Hana memicingkan matanya.

"Uring-uringan."

"Aku ga uring-uringan." bantah Hana. "Aku ngomel cuma sama kamu. Sama Pak Juna juga ga banyak ngomong. Mananya yang uring-uringan?"

"Hatimu yang uring-uringan," goda Rara.

Hana mendengus keras.

"Apalagi kamu bilang dia pergi ninggalin apartemenmu karena telepon dari cewe."

Hana mengangkat kedua bahunya. Sejujurnya, ia tak ingin mengambil kesimpulan. Perempuan itu mengira demikian karena saat itu, Juna tak banyak bicara ketika mengangkat telepon dan suara lelaki itu berubah lirih---terdengar lembut---ketika berbicara. Suasana dapur yang hening saat itu membuat Hana mendengarnya cukup jelas, bahwa Juna menyuruh lawan bicaranya untuk tak datang ke rumahnya, untuk menunggunya di salah satu mall di kota.

Dinding-dinding dapur apartemen Hana memantulkan suara Juna dengan jelas malam itu.

"Sudahlah," Hana menarik napas dalam-dalam. "Kayanya aku emang lagi PMS."

Rara tertawa. "Kamu ngaku cemburu juga ga apa-apa, kok, Han."

"Cemburu apaan astaga!" Suara Hana naik, melengking saat mendengar tuduhan sahabatnya. Perempuan itu buru-buru melayangkan satu tangannya di depan mulutnya, membekap mulutnya sendiri.

"Habisnya, aku denger cerita kamu tuh kaya seolah kalian ada apa-apanya." Rara menaik-turunkan alisnya, masih senang menggoda Hana. "Get a hint, dong. Dia nyeritain soal adiknya, ayahnya---"

"Jangan lebay. Dia ga cerita aneh-aneh. Itu bukan sebuah cerita. Itu cuma ngomong sebaris dua baris."

"Tapi tetep aja dia bawa-bawa keluarganya. Manis banget tau, Han."

Hana mendesah panjang, tak habis pikir dengan cara pikir Rara.

"Dia bandingin masakanmu sama masaian mamanya, pula."

"Aah, diem... diem, deh. Omonganmu makin ngaco!"

"Lagi ngomongin apa, nih?"

Kedua perempuan itu membeku, saling menatap satu sama lain. Suara itu...

"Halo, Han, Ra, aku di sini," panggil Viant bingung, melihat dua perempuan itu tak kunjung menoleh ke belakang.

Hana menelan ludah. Bersamaan dengan Rara, keduanya menoleh ke belakang. Ada Viant berdiri dua langkah di belakang kursi yang kedua perempuan itu duduki. Lelaki itu tersenyum ramah sambil melambaikan tangannya, sementara tangan kirinya membuang rokok ke tempat sampah tak jauh dari pintu masuk kafetaria.

perfect loveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang