Setelah mengecek kegiatan di gudang, Juna tak langsung memilih kembali ke gedung kantor. Lelaki itu berbelok di sebuah ruangan di belakang kantor-tak jauh dari bangunan kantin. Berdiri di depan pintu kacanya beberapa detik, dilihatnya sahabatnya tengah bersantai di dalam ruangan khusus untuk merokok sembari sibuk dengan ponselnya-mungkin mengecek email. Viant memang tak pernah betah berada di dalam ruangan. Juna bisa menebak, Viant akan banyak menghabiskan waktu di sana bahkan jika jam kerja sudah menunjukkan saatnya pulang.
Juna mengetuk pintu kaca dari luar. Dua ketukan, dan Viant langsung mendongak-menyadari keberadaan Juna.
Lelaki itu mematikan bara rokoknya dan tersenyum.
"Kamu tahu slogan rokok sekarang, kan?"
"Merokok membunuhmu. Itu maksudmu?" Viant keluar dari smoking room.
Juna mengangguk enteng sambil berbalik, mengajak Viant berjalan-jalan.
"Kamu tahu kalau kepalaku penat ngurusin email-email dari orang-orang. Kerjaan ini lama-lama bikin pusing. Aku berharap, dengan dikirimnya kamu ke sini, kamu bisa bantu-bantu kerjaanku."
"Mimpi. Kamu kira aku ke sini rekreasi? Baru satu hari dan aku sudah tahu apa saja PR-ku untuk tiga bulan ke depan."
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Viant tertawa.
Angin sore mengalir semilir. Tak ada sinar matahari yang terik lagi. Sudah hampir jam lima sore. Bayangan-bayangan gudang belakang yang tinggi dan beberapa pepohonan hijau yang sengaja ditanam mengelilingi halaman belakang kantor yang memisahkan area kantor dengan gudang membuat jalanan pedestrian yang dilalui Juna dan Viant menjadi teduh.
"Jadi, bagaimana?"
Alis Juna berkerut, masih mencoba memikirkan maksud perkataan Viant.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Viant sendiri sibuk memandangi langit sesekali, pada arakan awan yang tak lagi seputih kapas-mulai pudar oleh warna sinar matahari yang berubah lembayung.
"Bagaimana apanya?" Juna menghela napas.
"Perasaanmu. Kembali ke Bandung." Viant menoleh perlahan. "Tiga bulan. Ga akan jadi masalah buatmu, kan?"