Suara penanda nasi matang dari rice-cooker di ujung dapur menyelamatkan Juna. Lelaki itu merasa tubuhnya kaku ketika tadi asistennya memeluknya. Juna terperangkap. Lelaki itu tak bisa melakukan apa-apa. Ada setitik hasrat dalam dadanya untuk memeluk balik Hana. Namun suara penanda peralihan rice-cooker dari fast cook ke keep warm menjadi detik di mana Hana melepas pelukannya. Perempuan itu melepaskan sebuah senyuman lebar, mendadak bersemangat meneruskan acara memasaknya. Malah Juna yang mendadak merasa kikuk. Semoga perempuan itu tak sadar.
Juna mengganti-ganti channel televisi yang ditontonnya. Namun pikiran lelaki itu hanya tertuju pada sosok perempuan yang sedang mencuci piring bekas makan siang di dapur.
'Saya mengingatkan Pak Juna pada adik Pak Juna, ya?'
Bukan begitu. Namun memikirkannya lagi, Juna melihat Hana sebagai apa? Lelaki itu belum menemukan jawabannya. Dan lagi... suara detak jantung siapa... yang terdengar keras ketika tubuh keduanya kehilangan jarak seperti tadi? Ia kah? Atau perempuan itu?
Juna memejamkan matanya perlahan. Beberapa menit berlalu, Hana melangkah mendekat ke sofa. "Pak Juna, mau es kri-" suara perempuan itu terhenti ketika dilihatnya Juna memejamkan matanya. Punggung lelaki itu bersandar penuh di sandaran sofa. Dalam dekapannya, bantal Minion ukuran sedang berdiam di sana.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Hana tak bisa menahan sensai hangat yang menyeruak di rongga dadanya. Tanpa sadar, Hana mengulurkan ujung jemarinya-hingga sempat menyentuh pipi Juna sebelum akhirnya Hana buru-buru menarik tangannya. Hana menggigit bibirnya. Ia kelepasan lagi. Cukup pelukan tadi saja yang jadi tindakan terpayahnya. Tidak boleh terulang lagi.
Hana bangkit berdiri dan mencari remote control televisi, mematikannya.
"Oke, bersih-bersih kamar, deh."
Perempuan itu pergi berlalu.
Kelopak mata Juna yang terasa berat terbuka pelan-tak sempurna. Tampaknya ia benar-benar lelah. Bangun pagi, olahraga dengan Julian, belanja, hingga akhirnya memasak sekaligus makan siang bersama Hana di apartemen perempuan itu. Suasana apartemen yang begitu nyaman mengantarkan lelaki itu pada kantuk yang luarbiasa. Ia terlena. Namun suara televisi yang mendadak mati barusan sempat menaikkan tingkat kesadaran Juna. Sesuatu yang terpikir di dalam kepalanya. Apakah Hana tadi di dekatnya dan... menyentuhnya?
Belum sempat ia benar-benar mendapat jawabannya, Juna terlelap lagi-tetiba ia mendapatkan nyenyak seolah bertahun-tahun lamanya tak ia rasakan.
****
Juna bergerak pelan. Lelaki itu membuka matanya perlahan, mengerjap beberapa kali. Kedua matanya menemukan langit-langit bercat putih. Lelaki itu menengok ke sekitar. Setelah benar-benar yakin telah tersadar, ia bangkit terduduk. Siapa sangka kalau ia ketiduran dan sudah terbaring di sofa-tertidur untuk entah berapa jam lamanya. Sial. Juna memerhatikan boneka yang masih ada dalam pelukannya. Boneka dari tokoh kartun dalam film Despicable Me itu masih betah menemaninya. Juna mengerutkan alisnya. Sepasang sandalnya sudah tertata rapi di kaki sofa. Jelas bukan ia yang menatanya. Juna masih ingat jelas, ia tak pernah melepas sandalnya sejak datang ke apartemen Hana.