9

94 23 0
                                    

Sempat dikunjungi Rara dan beberapa teman lawasnya membuat Hana makin tak betah tinggal di apartemennya. Sendirian dan bosan membuat perempuan itu memaksakan diri untuk masuk kerja. Tak sampai seminggu sejak ia keluar dari rumah sakit, perempuan itu sudah berkeliaran di kantor-membuat Juna terpaku ketika menyadari kehadiran Hana.

Di tangan kanannya, terapit beberapa berkas-mungkin akan difotokopi.

Lelaki itu baru saja kembali dari gudang, tak menyangka akan menemukan asistennya sudah masuk kerja. Lelaki itu berhenti melangkah di ujung hall, memandang Hana dari kejauhan yang agak kesusahan berjalan dengan dua tongkat penyangga kaki. Menghela napas, lelaki itu akhirnya berjalan maju, menghampiri Hana. Begitu menghentikan langkah di depan Hana, dilihatnya Hana langsung mendongak-raut mukanya menyiratkan kaget.

"Sedang apa kamu di sini?"

Belah bibir Hana terbuka tipis, namun tak ada jawaban yang keluar.

"Memangnya kakimu sudah enakan untuk jalan?" tanya Juna lagi.

Hana tersenyum kikuk. "Masalahnya, kalau tidak gerak, rasanya kaku, Pak. Lagi pula, saya bosan di apartemen."

"Jangan memaksakan diri. Jangan-jangan karena pekerjaan, ya?"

Hana buru-buru mengelak.

"Apa itu?" Juna menunjuk kertas-kertas di tangan Hana.

"Oh, saya mau scan data. Printer di ruangan kita macet, Pak."

Juna memandangi Hana sebentar lalu meraih berkas di tangan Hana. Perempuan itu tak menggenggamnya erat. Dalam satu kejap, kertas-kertas itu sudah berpindah tangan. Lelaki itu memandangi tulisan-tulisan di permukaan kertasnya dan mendesah pelan. "Ayo, masuk lagi ke ruangan."

Mata Hana melebar. Perempuan itu memandangi Juna yang dengan santainya melangkah dan melewatinya begitu saja.

Ada apa ini?

Tak ada pilihan lain bagi Hana selain berbalik dan masuk lagi ke dalam ruangannya. Perempuan itu menggigit bibirnya sesaat. "Pak, berkasnya itu-"

"Duduklah." Juna mengabaikan Hana dan meraih telfon di mejanya, menghubungi nomor extension yang tak Hana ketahui. Juna melirik Hana dan memberi isyarat dengan telunjuknya-meminta Hana duduk kembali ke kursinya. "Halo, Yan. Asistenmu suruh kirim salah satu anak magang, terserah dari departemen mana, suruh ke ruanganku sekarang." ucap Juna dengan lugas.

Hana mengerucutkan bibirnya. Ternyata lelaki itu menyuruh orang lain. Hana menarik napas panjang diam-diam. Kenapa dia jadi menyusahkan orang lain begini? Hana paling tak senang merepotkan orang lain. Memang hanya tugas sederhana, tapi jika ia bisa melakukannya sendiri, Hana tak akan meminta bantuan orang lain.

"Jangan jalan-jalan keluar ruangan."

Hana mengerjap. Merutuk dalam hati.

"Apa enaknya jalan-jalan dengan kaki pincang begitu?"

Perkataan tajam Juna membuat Hana memicingkan matanya tanpa sadar.

"Aku tidak berharap kamu masuk besok. Istirahatlah dulu."

Hana mendesah panjang-kali ini suaranya cukup keras untuk sampai ke pendengaran Juna. Kenapa atasannya itu seolah ingin Hana tak sembuh-sembuh? Kata bibi apartemen sebelah yang mengunjunginya, ia harus sering-sering menggerakkan kakinya.

Hana buru-buru berdiri. Perempuan itu berjengit pelan ketika memaksakan kedua kakinya untuk bangkit. Perempuan itu masih merasakan nyeri ketika otot lututnya tertarik ketika ia bangkit dari posisi duduknya. Ia tak menyangkal kalau rasanya memang sakit. Namun, memangnya mau sampai kapan ia duduk?

"Mau ke mana kamu?"

Hana menoleh pelan, memandangi atasannya dengan tatapan tak percaya.

Beberapa detik, hanya pandangan yang saling beradu tanpa suara. Hana benar-benar tak habis pikir. Jadi sekarang, ke mana pun ia pergi, Juna akan selalu bertanya?

"Ke... toilet." Hana tak ingin berdebat. Perempuan itu menggerakkan kakinya lebih cepat-menahan perih di kedua kakinya.

Juna mengangkat telfonnya lagi. Apa lagi sekarang? Hana menahan diri untuk tak melirik Juna. Namun, suara lelaki itu mengudara nyaring.

"Ya, Raisha?"

Mata Hana melebar. Perempuan itu menelan ludah tanpa sadar.

"Bisa ke ruangan Hana? Bantu dia ke kamar mandi."

****

"Demi Tuhan! Memangnya aku ini anak kecil?"

Rara belum puas tertawa. Entah wajahnya merah karena terus-terusan tertawa, atau karena perempuan itu tersipu-mendukung racauannya sedari tadi: 'So sweet banget.'

Hana merasa napasnya terengah. Perempuan itu menyandarkan punggungnya di dinding luar kamar mandi sembari memandangi bayangan dirinya di pantulan kaca wastafel. Hana mengakui betapa berantakan ekspresinya sekarang. Antara marah, kesal, dan bingung sendiri.

"Kamu mestinya lihat gimana ekspresiku pas di ruangan tadi, pas ngangkat telfon. Mangap kaya cover Manusia Setengah Salmon." ujar Rara tersendat-sendat-menahan tawa. "Lebih epic lagi pas aku nutup telfon dan satu ruangan pada ngelihatin."

"Dan kamu cerita ke mereka semua?" Hana memutar bola matanya.

"Ya pastilaaaaaaah!" tawa Rara meledak lagi.

Hana mengulurkan tangannya, berniat mencubit lengan Rara, namun sahabatnya itu dengan sigap bisa menghindar. Hana tahu ia tak bisa mengejar Rara dengan kondisinya yang tak bisa banyak bergerak.

"Tau ga, apa komen mereka pas aku nyebut 'disuruh babysitting ke kamar mandi gara-gara Pak Juna ga mau Hana kenapa-kenapa'?"

Hana yang sebal hanya mendengus kesal.

"Cinta lokasi!!!"

****

[Senin, 17 Juni 2019}

perfect loveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang