"Viant menelfonku semalam, nanyain kamu. Karena aku ingat kamu minta aspirin, aku pikir kamu pasti tidur."
Juna mengacak orak arik telur di atas piringnya. Ia tak melirik Julian yang ia yakin pasti tengah memerhatikannya. Selama ritual sarapan dengan keluarga Julian, suasana begitu sepi. Setelah oom dan tantenya pergi, akhirnya Julian angkat bicara. Sepupunya itu pasti bisa memaca betapa suntuknya wajah Juna saat ini.
"Yang menanyakanmu adalah Viant. Ga bisakah yang menanyakanmu itu cewe? Selain Mikaila tentunya." Julian mendecak. "Kamu ga bertengkar sama Viant, kan?"
Juna mendesah panjang. Untuk pertama kalinya di pagi ini, ia merasa sudut bibirnya tertarik---membentuk sebuah senyuman tipis.
"Ada apa?"
"Kamu harap aku curhat?"
Julian tertawa sembari membalik sendok dan garpunya di atas piring.
"Kita bukan anak SMP yang apa-apa suka sharing."
"Kalau begitu, jangan pasang muka ketekuk gitu. Papa sama mama ngelirik kamu pas makan tadi, Jun." Julian mengingat ekspresi kedua orang tuanya saat sarapan tadi.
"Sorry."
"Kenapa? Ada masalah sama Viant?"
"Bukan," Juna menggeleng. "Aku cuma punya rasa bersalah yang sangat besar terhadap sesuattu."
"Jangan bilang kecelakaan dulu itu?"
Juna menoleh.
"Cuma kejadian itu yang paling bikin kamu sering merenung tiap ke Bandung. Mikaila kadang nge-chat soal itu. Salah satu alasan kamu ga mau ke Bandung. Kenangan."
"Move on-lah. Kenangan macam itu, atau macam Tante Diana, mau sampai kapan bakal ngebikin kamu trauma sama Bandung? Ga setiap sudut kota ini bikin kamu ngeri, kan?"
"Jangan khawatir soal itu. Aku... pernah terpikir untuk netap lagi di kota ini. Demi... seseorang."
"Pernah? Sekarang?"
"Aku punya masalah. Ga bisa dipungkiri, Mika dan almarhum Nathan adalah masalah paling berat selain mama. Karena Mika selalu mencariku dan dia membangkitkan perasaan bersalah yang sudah ada. Aku ga punya jalan untuk ngakhirin ini semua."
"Lalu kamu mau ngebiarin itu selamanya? Seseorang yang kamu bilang tadi itu... Mika?"
Juna menggeleng.
"Kalau begitu, sekarang kamu punya alasan lain untuk menyelesaikan masalahmu, kan? Kalau memang masih nyambung sama Mika, ya selesaikan dulu urusanmu dengan Mika." Julian menarik napas panjang dan mendongak pelan. "Mau sampai kapan, kamu mau diseret kenangan masa lalu? Ada seseorang yang ingin kamu jadikan masa depanmu, kan?"
"Seseorang itu... pacarnya Nathan, Jul. Pacarnya yang asli. Dan itu bukan Mika."
Julian terdiam beberapa detik.
"Rasanya mau cerita ke kamu saja berat."
Julian tersenyum kecut. "Isi kepalamu pasti ruwet sekali, ya."
****
Juna memutuskan untuk menemui Mikaila. Perempuan itu awalnya begitu sumringah melihat Juna mendatanginya---sesuatu yang cukup mengejutkan untuk Mikaila. Tapi Mikaila akhirnya teringat dengan kejadian kemarin sore di mall. Mengingat Hana lagi membuat hati Mikaila ciut. Mantan sahabatnya dulu.
Bukan salah Mikaila kalau ia jatuh cinta juga pada Nathan yang begitu baik.
"Kamu... sama Hana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
perfect love
Fanfiction𝐟𝐭. 𝐤𝐢𝐦 𝐬𝐞𝐨𝐤𝐣𝐢𝐧 "If God can take away something you never imagined losing, then God can replace it by something you never imagined owning."