34| s a y o n a r a

249 40 8
                                    

/ so this is my goodbye, to our good memories and our bad, to our inside jokes and the ones we never quite got, and to all the what-ifs we had /
🌔🌕🌖

Selama bersama Brian, sekalipun sudah sekian badai yang menghepas kami hingga titik terbawah––dan puncaknya waktu kami sepakat untuk break––saya rupanya tidak pernah benar-benar terbiasa dengan perpisahan. Baru membayangkan raga saya berada jauh dari hangat yang selalu dia pancarkan, belum apa-apa saya sudah merasa dingin. Beku.

Hampa.

Tadi, awalnya mungkin saya terlalu kalut, makanya semua yang jadi concern saya akhir-akhir ini terlontar keluar begitu saja. Kekuatiran saya akan masa mendatang menang telak. Ketakutan saya akan kemungkinan Brian bertemu dengan yang lebih baik dari saya semakin menjadi-jadi, membuat saya pada akhirnya menjatuhkan keputusan untuk menyuruhnya pergi lebih dulu.

Dan yang sayangnya, dia setuju.

"Sorry..."

"Hm?" Saya memberanikan diri mendongak menatap Brian di balik pagar walau dengan wajah berantakan akibat menangis hebat.

"Sorry, udah bikin lo nangis."

Saya tertawa pelan. Berharap lewatnya, Brian menganggap saya baik-baik saja, bukannya malah menyedihkan. "Nggak apa-apa, Brian. Lagian gue tahu kok, tahu banget.... kalo akhirnya lo bisa ngikutin apa yang hati lo bilang. Selama ini nggak pernah kan? Cuman nurutin apa kata gue."

"Lo tahu, Yu, ini pengalaman pertama gue pacaran. Gue akui gue payah banget, selama ini belum bisa ngasih lo yang terbaik dan mungkin masih jauh dari apa yang lo ekspektasikan. Tapi gue yakin lo ngerti." Brian berujar lembut. "Jadi, jangan terlalu nyalahin diri sendiri ya? Pisahnya kita bukan sepenuhnya salah lo kok, gue juga banyak salahnya. Kita berdua cuman belum dewasa aja."

"Iya, gue ngerti."

Brian mengangguk, lantas berusaha membagikan senyumnya untuk saya. "Kita masih bisa temenan kan?"

"Of course!" balas saya dengan senyum yang tertular. "Makasih buat semuanya ya, Bri."

"Gue juga makasih." Tangan Brian terulur melewati pagar kosannya yang hanya setinggi dada dan mendarat sempurna di pundak saya. "Jangan lupa bahagia, Yu."

"Jangan lupa bahagia juga." Saya mengusap punggung tangan besar di pundak saya itu sambil bertanya-tanya dalam hati; kapan sekiranya saya bisa merasakan kehangatan ini lagi?

Keadaan seperti memaksa kami mengubur habis mimpi-mimpi dan janji-janji yang belum sempat tergenapi. Hutang saya untuk pergi ke Surabaya naik kereta bersamanya, hutang dia untuk menghabiskan sehari penuh berdua saja dalam rangka merayakan ulang tahun saya, dan masih banyak lagi hutang-hutang lain yang saya sendiri tidak yakin, kapan sekiranya kami bisa melunasi?

"Hati-hati." ucapnya setelah saya bersiap di atas motor.

Saya dan Brian memang sepakat untuk tidak mengulang cara berpamitan seperti yang kami lakukan di taman rumah sakit waktu itu karena yaa, mungkin lebih baik begini saja.

Lebih membantu kami untuk saling ikhlas melepas.

Dan yang saya tahu, begitu motor yang saya naiki mulai melaju meninggalkan tempat ini, laki-laki di belakang sana sudah benar-benar bukan milik saya lagi.

🌔🌕🌖

"...habis gue nganter dia balik tadi, kita tukeran maaf dan bilang makasih. Terus, ya udah deh, the end." tutur saya menutup cerita.

Sun and MoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang