29| h a r i n y a

388 54 6
                                        

/ maybe we pretend to be lost in hopes of being found /
🌔🌕🌖

"Materi untuk hari ini saya rasa cukup sekian. Minggu depan kita adakan kuis, jadi tolong dipersiapkan sebaik-baiknya. Selamat siang."

"Langsung cabut lo? Nggak ngantin dulu?" tanya Leo melihat saya terburu-buru menjejalkan semua barang-barang di atas meja ke dalam ransel begitu Bu Astrid, dosen yang mengajar kelas kami siang ini, berpamitan lantas keluar dari ruang kelas.

"Nggak kuat gue, sakit banget." Saya meringis untuk yang kesekian kali. Pasalnya, sudah tiga hari ini saya merasa nyeri di perut kanan bawah tanpa tahu apa penyebabnya. Saya kira cuman gangguan pencernaan biasa yang kalau dibuat makan dan istirahat akan sembuh dengan sendirinya. Tapi bukannya sembuh, makin hari rasa nyerinya malah makin menjadi-jadi.

"Gila lo sampe gobyos gitu?"

Tangan saya refleks mengelap bulir-bulir peluh yang menetes dari pelipis hingga leher. "Ah, emang sumuk ini mah."

Siang ini mendung tapi panasnya luar biasa, mungkin pertanda nanti atau besok akan turun hujan. Tidak ada habisnya hujan ini, padahal sekarang sudah pertengahan bulan Mei.

Ngomong-ngomong soal bulan Mei, Ayunda, si gadis bulan Mei itu sedang berulang tahun hari ini. Mari bersama-sama mengucapkan selamat ulang tahun dan mendoakan yang terbaik untuk dia.

Iya, saya memang belum ngucapin langsung. Belum pula ketemu anaknya seharian ini.

"Cek dokter sana lo, daripada ntar malah kenapa-napa."

Saya menggeleng malas. "Mampir apotek aja gue habis ini. Ntar juga waras habis diminumin obat."

"Yakin?"

"Yakin. Yok, balik."

Pun setelahnya kami keluar kelas dan berjalanan beriringan menuju parkiran motor. Namun, belum jauh, saya dan Leo terpaksa menghentikan langkah karena dihadang Jeremy secara tiba-tiba.

"BRI! HOT NEWS, BRI!"

"Apaan? Awas lo kalo nggak penting." Dengan sabar saya menunggu Jeremy selesai mengatur napas setelah berlari-lari demi menghampiri saya barusan.

"Anu... Lo masih sama Ayu kan, ya?"

Saya mengernyit bingung. "Kenapa emang?"

Bukannya menjawab, Jeremy tanpa aba-aba malah menyeret saya. Bahkan Leo sampai harus tergopoh-gopoh demi mengekori langkah kami.

"Wasu, Jer, gue udah mau balik ini!"

"Udah, ikut aja dulu."

Dan rupanya dia berniat membawa saya ke kantin Psikologi. Menunjukkan sesuatu yang sama sekali tidak saya harapkan untuk saya lihat saat ini.

"Gue tadi nggak sengaja lihat itu cowok nembak Ayu pake kembang pas lewat sini. Tadi masih ada siapa tuh temennya Ayu yang cakep kayak bidadari? Hana? Terus nggak tahu ini kok tinggal berdua doang." jelas Jeremy seolah menyadari tanda tanya besar yang muncul di kepala saya saat melihat dari kejauhan dua orang yang tengah berbincang akrab di salah satu meja kantin. Ayunda dan si laki-laki entah siapa. "Gue tuh tahu itu cowok siapa. Katingnya Ayu, seangkatan sama gue, pernah duet juga sama Tere pas dies natalis kampus. Tapi gue lupa namanya siapa, fakk??"

Saya memilih bungkam melihat dia terus berusaha mengingat-ingat sampai harus meremas rambutnya sendiri.

"Depannya apa, deh? Ntar gue sebutin, kali aja bener." Ya elah, sama Leo malah ditanggepin.

"Depannya B."

"Bambang? Budi? Burhan? Bayu?"

"BAYU!! IYA, NYET, BAYU!! INGET GUE!!" Dengan ribut Jeremy menawarkan hi-five ke arah Leo.

Sun and MoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang