26| m e m b e k u

442 58 10
                                        

/ i don't know what's killing me more; talking to you or not talking to you /
🌔🌕🌖

Saya selalu suka bunyi gemericik hujan.

Kalau ditanya sejak kapan, mungkin jawaban jujurnya adalah sejak saya berteduh di emperan toko bersama Brian. Hari itu.

Saya selalu suka bunyi gemericik hujan. Tapi khusus hari ini, mungkin tidak. Karena bukannya riuh, justru saya semakin merasa kesepian ketika mendengarkannya.

Sekarang ini, saya sendirian di kamar rawat Elang––oh ralat, berdua, hanya saja adik saya satu itu masih tertidur di ranjangnya, sedang saya duduk di depan jendela besar yang terbuka, melihat hujan yang, sialnya, mengingatkan saya akan seseorang yang seharusnya tidak saya ingat-ingat untuk sementara waktu ini.

Besok habis kelas gue dateng jenguk lagi ya.

Tulisnya kemarin malam di chat. Mendorong saya untuk menanti kedatangannya dari awal saya membuka mata dan bangun tadi pagi hingga detik ini.

Tapi dia masih belum datang.

Dio yang semalaman berjaga di sini, tadi saya paksa pulang karena hari ini harusnya kami ada kelas. Ya, biar saya sekalian titip absen maksudnya. Nanti sore katanya dia akan kembali lagi. Yang mana menyuruhnya pulang sama saja dengan merelakan diri ditinggal satu-satunya teman yang menemani saya seharian kemarin.

Jujur, saya tidak serapuh ini biasanya. Tapi entahlah, kalau sudah menyangkut Elang, saya tidak bisa menjadi seperti biasanya.

Ngomong-ngomong, bocah itu sudah siuman kemarin malam, tapi tertidur lagi karena pengaruh obat yang digunakan untuk menghilangkan rasa sakit dan sampai sekarang masih belum bangun.

"AYU!"

Saya terlonjak saat pintu kamar tiba-tiba dibuka dengan keras dari luar. Pelakunya Anya dan Jeremy. Memang dua sepupu itu tidak ada berubah-berubahnya sama sekali dari dulu, masih saja datang-datang suka bikin rusuh.

"YU, I'M SO SORRYYYY!!" Anya berlarian dan langsung memeluk saya erat-erat begitu tiba di hadapan saya.

"Woy, woy! Udah nggak usah gini, I'm okay. Noh, adek gue tuh yang kenapa-kenapa." Saya menepuk-nepuk pundak Anya supaya gadis itu segera menyingkir dari saya. Namun, bukannya menurut, Jeremy malah ikut-ikutan bergabung memeluk saya dan Anya dengan lengan panjangnya.

"Gue juga sorry ya, Yu."

No, no, Ayu, please jangan nangis lagi. Kamu serius mau pamer air mata dan kelemahanmu di depan setiap orang yang kamu temui selama dua hari ini?

Saya meraup oksigen banyak-banyak, cukup berhasil membendung cairan bening sialan itu supaya tidak tumpak ruah.

"Lo berdua doang, nih?" tanya saya berusaha mengalihkan pembicaraan.

Anya yang sudah melepas pelukannya dari saya, kini beralih menyusun buah-buahan yang dibawanya ke atas nakas di sebelah ranjang Elang. "Emang harusnya sama siapa lagi? Brian?"

Loh, bukan begitu maksud saya. Aduh, Yu, bisa tidak sih kalau ngalihin topik itu ke sesuatu yang lebih bener?

"Ntar nyusul, tadi masih di kelas waktu gue chat." jawab Jeremy. "Ngapain juga lo nanya ke kita? Emang lo berdua nggak kontakan?"

Saya bergeming sesaat. "Kontakan kok." jawab saya ragu, separuh jujur separuh bohong. Memang benar kami kontakan tadi malam, tapi ya hanya sekadar saling memberi kabar saja. Itupun tidak serinci biasanya. Brian hanya mengabari bahwa dia akan datang menjenguk seusai kelas, tapi tidak ada kepastian pukul berapa lebih tepatnya. Membuat saya harus mengakui walau dengan berat hati, kalau saat ini saya sedang menunggunya.

Sun and MoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang