/ it all comes down to the last person you think of at night
that's where your heart is /
🌔🌕🌖"Masih dingin?"
Ayunda melirik, lantas mengangguk-angguk lucu. Saya berinisiatif mengambil selimut yang terlipat rapi di jok tengah dan memasangkannya ke pangkuan Ayunda.
"Enaknya ngapain, ya? Bosen nih."
Kegiatan saya dan Ayunda sejak sekitaran tiga jam yang lalu––yang mana, ekhm, setelah kami berciuman untuk yang pertama kali––tidak jauh-jauh dari melakukan obrolan dini hari tentang kuliah, kepanitiaan yang mulai ditekuninya, Enam Hari, hingga angan-angan kami akan masa yang akan datang. Sebagai selingan, guyon receh dan gelak tawa kami yang saling bersahutan, sesekali memecah kesunyian dan kekhidmatan tempat ini.
Tapi sekarang kayaknya dia mulai bosan. Jadilah saya mengambil Radith dari jok tengah dan menyodorkannya kepada Ayunda, kemudian mengambil gitar tanpa nama saya sendiri yang juga saya angkut ke sini sebagai teman perjalanan semalam kami. Tanpa nama, ya karena saya official bassist-nya Enam Hari, yang kemungkinan tidak bakal sesering itu muncul dengan membawa sang gitar. Dan lagi, saya juga toh terlalu malas mencarikan nama untuknya.
Oh ya, ngomong-ngomong, hari ini hari ulang tahun saya. Dan rencana perjalanan semalam ke Puncak ini sudah saya persiapkan matang-matang, sejak jauh-jauh hari.
Aneh, ya? Saya yang ulang tahun, saya pula yang ngasih surprise. Tapi tidak apa-apa, saya juga kepingin dong sekali-sekali jadi pacar yang romantis. Jadi biar saja saya yang bikin surprise, toh saya senang sama hadiahnya Ayunda. Ehe.
Kebetulan sejak bulan lalu saya diberitahu kakek, akan dititipi mobil jeep-nya sementara beliau pulang ke Surabaya selama seminggu. Makanya sejak dua minggu lalu saya sudah bertanya kepada Ayunda, ingin kemana dia jika saya sedang ada mobil.
Puncak. Begitu jawabnya hari itu.
Dan tibalah harinya saya menculik dia ke sana. Awalnya memang saya sempat diamuk, karena serius, Brian, tiba di kosannya saja rasanya sudah terlalu malam. Apalagi setelah dia bertanya dan saya menjawab kemana saya akan membawa dia semalam ini.
Tapi tenang, bukan Brian namanya kalau tidak ada usaha.
Contohnya, sekarang. Saya mengusulkan untuk berduet gitar dengannya, karena dia mulai bosan dengan mengobrol, sekaligus pengalihan supaya Ayunda tidak terlalu memikirkan dingin yang kian menjadi-jadi. Kasihan. Tapi ya gemas juga, lihat tubuh mungilnya menggigil.
Saya dan Ayunda duduk berhadapan dengan gitar di pangkuan masing-masing. Tangan saya mulai memetik-metik senar, dengan tangan satunya berpindah dari satu kunci ke kunci lain. Perlahan-lahan mengalunkan satu lagu yang sepertinya familiar di telinga Ayunda. Saya tersenyum memperhatikan dia yang tengah mencoba mengingat-ingat judul lagunya.
"Tiga pagi, ya?"
Saya mengangguk. "Tiga pagi."
Biarpun awalnya Ayunda harus pelan-pelan mengikuti permainan gitar saya, tapi sekali lagi harus saya akui kalau gadis saya ini luar biasa, karena selanjutnya dia langsung bisa mengimbangi, bahkan mengungguli saya.
"Eeh, bentar!" Kami berdua kompak menghentikan permainan sesaat setelah saya berseru demikian. "Pinjem HP lo, dong." Saya kemudian berinisiatif meminjam HP Ayunda yang lebih mudah dijangkau daripada HP saya yang berada di atas dashboard, lantas memasukkan password yang sudah saya hafal luar kepala dan langsung membuka menu perekam suara.

KAMU SEDANG MEMBACA
Sun and Moon
FanfictionIbarat sang surya dan rembulannya, Saya dan kamu dijauhkan Agar belajar lebih dewasa. Saya dan kamu diberi jarak Agar mampu pulih dari luka. Saya dan kamu dipertemukan kembali Agar menjadi insan sempurna. ©2019 • oldelovel