/ he's not what i'm looking for. he's more /
🌔🌕🌖Sudah memasuki minggu kedua semenjak saya resmi menjadi mahasiswi Psikologi di kampus ini. Rasanya belum terlalu berat karena mata kuliah yang diberikan masih mendasar, jadi saya masih punya waktu senggang untuk bermain-main sedikit sebelum mulai bertempur.
Seperti hari ini. Sesuai rencana, saya memenuhi undangan Brian untuk hadir ke studio kakeknya, dalam rangka pembentukan band yang beranggotakan Brian sendiri, Jeremy, Dimas, dan dua hidden members yang sampai sekarang masih mereka rahasiakan dari saya.
Anya yang sudah membaik pasca kecelakaannya pun turut diundang, walau tadi harus berdebat siapa yang membonceng siapa dengan saya terlebih dahulu. Tentu saja saya tidak mau kalah. Saya tidak mau kejadian yang sama kembali terulang menimpa sahabat saya satu itu.
Lucu juga. Dia yang jatuh, saya yang trauma.
Singkat cerita, motor yang kami kendarai pun tiba di pekarangan asri studio musik milik kakek Brian. Bangunannya minimalis, tapi begitu apik dan terawat. Pepohonan rindang serta tanaman-tanaman hias dalam pot pun turut mempercantik dan menambah keteduhan tempat ini.
"Bagus banget, Nya."
"Iya. Kok Brian nggak pernah ngomong sih, kalau punya studio bagus? Kan, tahu gitu kita sering-sering nongkrong di sini."
Saya lantas menggamit lengan Anya. "Yuk, masuk! Yang lain udah nunggu di dalem."
Lagi-lagi saya dibuat terpana mendapati interior studio yang tidak kalah apik dibandingkan bagian luarnya. Dindingnya bernuansa abu-abu, sepanjang lorongnya banyak dipasangi lukisan beraneka aliran dan foto-foto dari keluarga besar Brian, dan di setiap sudut ruangan berdiri guci-guci besar beserta ukirannya yang cantik. Melihat semua itu, saya bisa langsung menebak kalau mayoritas dari keluarga besar Brian begitu mencintai seni.
"Tuh, mereka udah dateng."
Tidak peduli sambutan dari Jeremy, Brian, maupun Dimas, mata saya dan Anya kompak mencari-cari sosok asing yang juga ada di ruangan terbesar di studio ini.
"Suca?" Saya mengenali salah satunya sebagai teman sekelas saya dan Anya sewaktu kelas 12, sekaligus sepupu dari Dio. Namanya Sucahyo. Harusnya dipanggil Cahyo, tapi tidak tahu kenapa, anak-anak malah lebih akrab dengan nama Suca.
"Weh, ada Ayu sama Anya!" Dia mengangkat telapak tangan ke udara, berniat mengajak kami ber-hi-five. Saya dan Anya pun menyambutnya dengan senang hati.
"Yang satunya... Wisnu bukan, sih? Itu lho, yang pernah ngiringin lo nyanyi pakai keyboard pas pensi kelas 11." Anya menyenggol lengan saya, bermaksud memaksa saya mengingat-ingat lagi kejadian di masa lampau.
"Ohh, Wisnu yang itu!!!" seru saya ketika berhasil mengingat rupa sosok yang satu lagi sebagai adik kelas yang pernah mengiringi penampilan saya waktu pensi kurang lebih dua tahun lalu.
"Hahaha, inget juga ternyata. Mbak Ayu apa kabar?"
"Baik, baik. Lo baik, kan?"
"Iya, baik juga, Mbak."
"Tapi, gue masih penasaran. Kok lo bisa kenal Suca sama Wisnu sih, Jer?"
![](https://img.wattpad.com/cover/177935151-288-k233087.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Sun and Moon
FanfictionIbarat sang surya dan rembulannya, Saya dan kamu dijauhkan Agar belajar lebih dewasa. Saya dan kamu diberi jarak Agar mampu pulih dari luka. Saya dan kamu dipertemukan kembali Agar menjadi insan sempurna. ©2019 • oldelovel