20| f l u k t u a s i

390 78 21
                                    

/ is that us, or our ego? /
🌔🌕🌖

Lewat bening kaca jendela kafe, saya bisa menemukan Brian duduk di salah satu meja, menggenggam cangkir minuman hangatnya dalam diam, dengan kepala tertunduk dan bahu yang entah sejak kapan jadi begitu layu.

Saya berusaha meraup oksigen sebanyak mungkin karena, entah, saya sendiri tidak tahu kenapa, hanya dengan melihat pemandangan Brian yang bergeming di dalam sana, mendadak dada saya terasa sebegitu menyesakkan.

"Gue tahu lo jenuh. Sama, Yu, gue juga. Kita berdua sama-sama sadar ada yang salah sama hubungan kita. Tapi, apa cuman gue di sini yang punya inisiatif buat memperbaiki?"

Serentetan kalimat yang dilontarkan Brian tadi terus  menerus berputar-putar di kepala saya, mengiringi langkah saya menuju ke arahnya. Semakin dekat, semakin kuat pula mereka memekik, membuat keberanian yang saya miliki terserpih menjadi partikel-partikel yang lebih kecil. Tercerai-berai, harus bersusah payah saya mengejarnya hingga saya mampu berdiri di sini, tepat di hadapan Brian.

Dia mendongak. Menyambut kehadiran saya dengan sorot mata yang tidak lagi semegah dulu. Meredup. Dua bola mata itu menatap sayu ke arah saya, seperti mencoba menjelaskan bahwa bukan hanya saya yang layu ditelan kesibukan.

Bahwa dia juga.

"Duduk, Yu." ujarnya setelah lewat hampir sepuluh hitungan saya hanya berdiri mematung.

"Ah, iya." Tersadar, saya buru-buru menarik kursi dan mendudukkan diri di atasnya.

Lalu, canggung.

"Mau pesen dulu?" tanyanya. Tanpa ekspresi, tanpa senyum anak rubah kesukaan saya. Rautnya kentara sekali menyimpan gelisah yang mendesak ingin cepat-cepat diutarakan.

"Nanti aja, nggak apa-apa." Ragu-ragu saya menjawab. "Mulai dari mana?" tanya saya langsung ke inti, tidak ingin membuatnya semakin resah.

"Gue mau lo ngomong duluan. Keluarin semua yang mau lo bilang. Keluhan-keluhan lo, alasan lo, apa yang lo mau gue tahu, semuanya."

Satu detik.

Dua.

"Nggak ada. I just... I was lost in time, you know, because I already told you that before. A lot. Real, many times."

"Lalu?" Dia bertanya masih dengan raut kosongnya. "Lo tahu kan, Yu, kalau keseharian gue juga nggak sesantai itu?"

"Iya, gue tahu. Dan gue mengerti. Makanya, gue nggak pernah nuntut lo yang macem-macem kan, Bri?"

Kekehan kering menguar dari bibirnya dan jujur, hati saya mengernyih mendengarnya.

"Bukan itu poin yang harusnya lo tangkep, Ayunda." Brian menyebut nama saya dengan geram yang kentara. "Sekarang gini. Gue kuliah, gue juga seriusin nge-band, tapi gue selalu nyempetin waktu buat ngabarin. Sedangkan lo, boro-boro ngasih kabar, gue telepon aja jawabnya selalu nanti, nanti, nanti."

"Gue bilang gitu karena emang nggak ada waktu buat teleponan, Brian."

"Ada. Selalu ada waktu, kalau lo menganggap gue penting buat lo."

"Jangan jadi egois."

"Gue nggak egois. Gue khawatir, Yu."

Saya berdecih lirih. "Lucu. Gue bukan anak kecil, kenapa pula lo perlu merasa khawatir?"

"Gue bahkan nggak perlu sekhawatir ini sama sodara gue yang anak kecil. Dia ngerti kapan waktunya pulang habis main, kapan istirahat, kapan belajar. Dia ngerti gimana caranya nggak bikin orang tuanya khawatir. Sementara lo? Lo yang ngakunya udah gede, selalu nggak ada tiap gue samperin ke kosan, selalu ngilang tanpa pernah ngasih kabar. Bahkan waktu gue tanya ke Anya, dia bilang lo jarang pulang ke kosan. Sekarang, salah kalau gue khawatir? Kalau gue peduli dan nggak bisa diem aja?"

Sun and MoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang