07| o s p e k

653 94 13
                                    

/ if you can't get somebody off your mind, they are probably supposed to be there /
🌔🌕🌖

Hari pertama ospek tiba. Saya bersama ribuan mahasiswa baru lainnya sedang dijemur di lapangan yang kering kerontang karena begitu garangnya matahari memanggang bumi seharian ini.

"Yang sakit boleh misah dari barisan. Yang sakit aja lho, Dek!"

"Itu yang di belakang, jangan ngobrol sendiri. Yang tenang, biar cepet selesai."

"Dek, itu barisnya yang lurus, ya! Jangan kayak anak TK yang susah dibilangin."

Saya menghela napas mendengar teriakan panitia ospek yang bersahut-sahutan. Tidak jahat memang, tapi banyak sarkasnya.

Mata saya berkelana ke barisan-barisan tetangga. Mencari seseorang yang akhir-akhir ini tidak pernah lagi muncul di hadapan saya. Terakhir kali ketemu, ya yang waktu festival musik malam itu.

Saya berhasil menemukan Dio. Seingat saya, Ayunda pernah bilang dia anak Psikologi, yang mana artinya sekarang ini dia pasti satu barisan dengan Dio. Dan benar saja. Saya menemukan dia di barisan agak depan, tidak jauh dari tempat Dio berdiri, sedang menunduk-nundukan kepala karena kepanasan.

Kasihan. Tapi lucu juga.

Dio sepertinya juga menyadari tingkah Ayunda. Disodorkannya selembar kertas yang dia bawa sejak tadi kepada gadis itu. Dari kejauhan, saya bisa melihat Ayunda tersenyum berterima kasih setelah menerima kertas itu.

Tidak tahu kenapa, tawa saya nyaris lolos kala melihat dia segera menempelkan kertas itu ke wajah. Mungkin saking frustasinya akibat panas terik dan kegiatan berjemur yang tidak kunjung usai.

"Kelompok 56, siap-siap ikutin Mbak yang kerudung biru, ya!"

Kelompok Ayunda dan Dio. Syukurlah, penantian panjang Ayunda akhirnya selesai. Saya bisa melihat sisa-sisa semangat kembali berpijar di wajah lelahnya begitu dia melewati barisan saya.

Sesuatu yang saya harapkan diam-diam, bukannya semoga hari ini matahari mau sedikit berkompromi sehingga tidak bersinar terlalu terik, tapi semoga hari ini semesta bersedia memberi izin saya untuk bertemu lagi dengan Ayunda.

🌔🌕🌖

Dan syukurlah, doa saya terkabul. Saya kembali dipertemukan dengan Ayunda di parkiran motor depan kampus.

"Sendirian aja, Neng?" sapa saya iseng.

"Brian?" Dia agak kaget begitu melihat saya. "Iya nih, nungguin Jere. Tadi gue berangkat sama dia, ini ngajakin pulang bareng juga tapi dianya masih ada kelas."

"Masih lama dianya? Kalo iya, gue temenin dulu."

"Eh, nggak usah, Bri. Palingan juga ntar lagi kelar."

Bentar, bentar.

Setelah saya perhatikan dengan cermat, penampilan Ayunda hari ini rupanya agak berbeda dari biasanya. "Lo... baru potong poni?"

"Hah? Ini? Nggak baru kok, udah dari kemaren-kemaren." Tangannya tergerak menyentuh poni tipis yang kini jatuh menutupi kening, kelihatan salah tingkah. "Kenapa? Aneh, ya?"

"Nggak. Malah tambah cantik." ungkap saya jujur.

Dia mengulum senyum, matanya beralih mengamati sekitar dan berhenti di gerobak gorengan di seberang parkiran kampus. "Lo mau gorengan, nggak? Kalau mau gue traktir. Yang di angkringan kapan hari kan lo yang bayar."

Sun and MoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang