/ he found what he was looking for, and i knew it wasn't me /
🌔🌕🌖"Lain kali tuh bangunin gue dulu bisa nggak, sih?"
Kekehan saya menguar melihat Wisnu yang bahkan belum benar-benar tiba di hadapan saya dan Yasmin, sudah langsung mengomeli adiknya itu.
"Dih, biarin. Lagian aku udah izin Mama kok." bantah Yasmin tak mau kalah.
"Udah, jangan berantem." Saya mengingatkan sambil masih sedikit tertawa. "Lo berdua kalo mau ke Brian, duluan aja. Ada Jere sama Anya juga, Nu."
"Loh, Mbak Ayu nggak ikut?"
"Udah kok tadi. Ini gue mau ke kamar adek gue."
"Oh, kalo gitu kita duluan, Mbak."
"Duluan, Kak Ayu."
Saya melambaikan tangan sekilas sebelum dua kakak-beradik itu meninggalkan saya di lobby rumah sakit seorang diri.
Satu helaan panjang lolos dari celah bibir saya. Pergi dari kamar rawat Brian dengan alasan hendak mengawasi Elang di kamarnya? Percayalah, itu hanya alibi yang dibuat-buat.
Harus ya, saya bertindak sejauh ini? Kenapa pula saya memilih menghindari Anya daripada menjelaskan apa yang terjadi kemarin malam?
Sepanjang sejarah mengenal Anya, saya bersumpah belum pernah melihatnya sekesal itu. Dan tidak perlu berada di posisi dia untuk mengerti bagaimana perasaannya. Ini tentang Brian, sahabat dekatnya sejak di bangku SMP, yang bukan baru sekali-dua kali ini saya buat kecewa. Sudah terlampau sering kalau saya mau mengingat, dan bisa jadi selama ini Anya selalu menahan diri setiap kali menyaksikannya.
Satu helaan lain lolos lagi.
"Yu..."
Saya menoleh, mendapati Anya tengah berjalan mendekat ke arah saya.
"Gue perlu ngomong sama lo."
Saya terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk pelan. Cepat atau lambat, entah itu siap atau tidak, kami memang harus bicara.
"Ada kafe di depan RS. Di sana aja ngomongnya." ujar dia, lantas melewati saya begitu saja dan melangkah keluar rumah sakit. Lagi-lagi saya hanya bisa mengiyakan dengan patuh dan mengekori langkahnya.
Di kafe depan rumah sakit, saya dan Anya duduk berhadapan. Sepuluh menit pertama kami habiskan dengan saling memelihara hening, bahkan cangkir-cangkir kopi panas di atas meja juga ikut kami diamkan.
Di luar mendung, padahal tadi waktu saya bangun tidur langitnya cerah.
"Gue denger, lo sama Brian udah balik lagi." Anya akhirnya membuka pembicaraan, membuat saya sepenuhnya mengalihkan perhatian dari titik-titik air hujan yang mulai jatuh dan membentur kaca jendela di sebelah kami. "Dapet berapa pernyataan cinta lo kemarin?"
Saya mengernyit, menyadari tidak adanya korelasi antara dua kalimat yang dilontarkan Anya tersebut.
"Jere cerita lihat lo ditembak kating lo di kantin. Terus Dio semalem kayaknya juga termasuk confess walaupun nggak secara langsung." jelas Anya. "Gue nggak tahu ada lagi apa nggak, tapi nyatanya lo tetep milih balik ke Brian."
Rasanya saya seperti perahu yang diombang-ambingkan ombak waktu Anya bilang begitu. Pasrah, entah kemana arahnya dia akan membawa saya.
"Lo ada bilang ke dia, nggak?"
"Nya, gue sama Brian baru aja––"
"Emang jodoh dah lo berdua, alesan aja bisa samaan. Tapi tahu nggak sih, Yu? You both are in a relationship. And in relationship, setahu gue nih ya, nggak ada tuh yang namanya keeps secret begini. You're in relationship to grow closer, not hide things and ruin trust." Anya menarik napas dalam-dalam, tampak berusaha menstabilkan emosinya. "Lo ngerasa nggak? Kalo selama ini Brian tuh lebih banyak berjuang dalam hubungan kalian? Selalu ngalah, selalu bilang nggak apa-apa, nggak pernah nuntut lo yang macem-macem. Gue pribadi ngerasa soalnya."

KAMU SEDANG MEMBACA
Sun and Moon
FanfictionIbarat sang surya dan rembulannya, Saya dan kamu dijauhkan Agar belajar lebih dewasa. Saya dan kamu diberi jarak Agar mampu pulih dari luka. Saya dan kamu dipertemukan kembali Agar menjadi insan sempurna. ©2019 • oldelovel