16| s w e e t e s c a p e

463 74 2
                                    

/ that first kiss after spending time apart /
🌔🌕🌖

"Kalau misalnya gue lagi ada mobil, lo mau kemana, Yu?"

Waktu Brian menanyakan itu dengan nada isengnya yang khas kira-kira dua minggu lalu, saya sama sekali tidak menyangka kalau dia, malam ini, benar-benar datang menjemput saya tepat di depan pagar kosan dengan jeep tua––yang entah milik siapa––terparkir di belakangnya.

"Ke Puncak, mungkin?"

Adalah jawaban saya waktu itu. Mulut saya padahal cuman asal menjeplak dan reaksi dia hanya manggut-manggut tidak jelas, tidak tahunya kalau dia sungguhan akan membawa saya ke sana dua minggu setelahnya.

"Bawa si Radith, gih. Bawa jaket juga yang banyak, yang tebel."

"Brian, jangan bercanda, deh. Lo nggak lihat ini jam berapa?"

"Lihat kok, jam setengah sembilan."

Ingin rasanya saya melempar manusia iseng satu ini kemana saja, saking gemasnya. Sayang, saya tidak mampu. Sayangnya lagi, saya tidak rela.

"Mau ngapain, sih?" Saya bertanya lagi setelah mobil jeep yang kami naiki––yang barusan dia bilang adalah milik kakeknya––mulai melaju meninggalkan kosan saya.

"Hmm... Piknik? Lihat aja lah nanti."

"Bri, are you drunk?"

"Lah? Dipikir gue berani nyetirin anak gadis orang, malem-malem gini, dalam keadaan mabok? Gue nggak segila itu, Ayunda." Dia tersenyum enteng sembari tangannya memutar kemudi karena ada tikungan di depan sana.

Serius, kalau saja keadaannya tidak sedang semenjengkelkan ini, pasti saya sudah memujinya habis-habisan dalam hati karena, demi apapun, Brian kelihatan berkali-kali lipat lebih ganteng dari biasanya, saat satu tangannya bertengger pada stir mobil dan tangan yang lain sesekali menyibak rambut ke belakang.

Sebentar. Yang barusan itu tidak dikategorikan dalam memuji, kan?

Ah, bodo amat. Pokoknya saya badmood sama Brian. Jadilah saya memutuskan untuk melempar pandangan jauh-jauh ke luar jendela mobil dan menanggapi pertanyaan-pertanyaan dia dengan jawaban seadanya.

Tapi bukan Brian namanya kalau menyerah begitu saja.

Lewat sebuah lirikan singkat, saya melihat jarinya terulur ke audio player, menekan-nekan berbagai opsi, dan tahu-tahu saja di detik berikutnya, suara Rendy Pandugo––yang mana merupakan idola saya nomor satu––sudah mengisi keheningan di dalam jeep ini.

"Sengaja banget, ya?"

"Lho, apa?" Senyum anak rubah Brian semakin terangkat naik, tampak begitu antusias mempermainkan saya. "Udah nyanyi aja, kalau ditahan ntar malah jadi kentut lho."

"Ngomong lagi gue lempar keluar mobil, ya."

"Dih, emang tega?"

Saya mendesis. Ya sudahlah, biar saja. Saya mau menikmati manisnya suara jodoh orang dulu.

Sunyi malam tanpa suara
Hanya hati yang bicara
Kau disampingku diam membisu
Meski riuh dera jiwamu

Bentar, bentar... Hey! Excuse me? Brian?

Siapa yang nyuruh dia ikutan nyanyi, sih?

Lagu Rendy favorit saya, dinyanyikan Brian, waktu dia sedang ganteng-gantengnya menyetir, adalah suatu perpaduan yang tidak pernah saya bayangkan akan terjadi tepat di depan mata semendadak ini. Suatu perpaduan yang juga sangat tidak sehat dan tentunya berbahaya bagi kewarasan saya.

Sun and MoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang