45| ( u n ) f i n i s h e d

524 36 22
                                        

/ oh i guess we had an expiration date, so i won't say i love you, it's too late /
🌔🌕🌖

"Lagu lo bukan sih ini?" Jeremy bertanya, memecah hening mencekam yang sudah selama setengah jam ini menghantui meja kami.

Anya di atas panggung kini menyanyikan lagu 'Shouldn't have..." yang waktu itu saya tulis pada hari dimana Ayunda meminta break, barangkali kalian masih ingat. Saya pikir lagu itu bakal cocok dinyanyikan Anya, jadilah beberapa waktu lalu saya hibahkan kepadanya dan sama dia dirombak lagi jadi lebih apik.

Ayunda yang duduk di seberang meja menolehkan kepala ke arah saya, ikut menunggu jawaban.

"Iya, tapi sama dia dirombak."

Selanjutnya, hening lagi. Kami bertiga kembali menikmati lagu terakhir yang Anya bawakan itu dalam diam.

Ngomong-ngomong, ini bagian dari rencana Anya tentang permintaan tolong saya yang waktu itu. Mengundang Ayunda menonton dia manggung tanpa memberi tahu kalau ada saya juga. Tidak heran jika saat datang dengan Anya tadi, Ayunda sempat melongo lihat saya sudah ada di tempat bersama Jeremy.

"Aneh banget lo. Ngapain mesti malu ngundang kita-kita coba, kalo ternyata sebagus itu tampilnya?" serbu Ayunda begitu Anya selesai dengan perform-nya dan bergabung dengan kami.

"Pilih kasih dia tuh, yang diundang Marko mulu." timpal Jeremy.

"Sirik aja lu, jomblo." Anya memeletkan lidah. "Si Wulan buruan dikasih kepastian kek, hobi banget lo ngoleksi gebetan."

Cukup mengejutkan ketika laki-laki itu tidak membantah ucapan Anya seperti biasa dan malah tiba-tiba diam merenung.

"Menurut lo, gue sayang beneran nggak sih sama Wulan? Apa cuman naksir-naksir biasa?"

Kami yang ditanyai pun saling melirik bingung.

"Ya, harusnya lo sendiri lah yang tahu? Kok malah nanya ke kita?"

Nah, sepakat sama Ayunda.

"Kenapa? Lo nggak yakin sama Wulan?"

"Gue nggak yakin sama diri gue sih lebih tepatnya, makanya nggak mulai-mulai juga. Takutnya tuh pas udah gue mulai, eh ternyata bukan ini yang gue mau. Malah nyakitin dia kan jadinya." papar Jeremy serius. "Ntar kayak dulu lagi ceritanya."

"Emang apa yang bikin lo ragu-ragu?" tanya saya.

"Nggak tahu ya? She's nice, dan gue juga udah suka. Personality-nya, pembawaannya, ide-idenya. Kayak, nyambung dan ngalir gitu aja tiap kita ngobrol. Tapi..."

"Tapi?" Kami bertiga menunggu kelanjutannya dengan tidak sabar.

Jeremy menghela berat, masih memasang raut serius yang sama sekali tidak cocok dengannya. "Tapi... nggak tahu deh kenapa gue masih ragu-ragu gini."

Segumpal tisu bekas melayang ke arah Jeremy.

"Mbulet ngerti, nggak?"

"Tahu dah, nyesel gue dengerinnya."

"Kayak yang gue bilang tadi sih, Jer. Sebagai temen bukannya kita nggak peduli, tapi kayaknya emang nggak bakal akurat kalo lo nanya atau minta pendapat ke orang lain, karena yang paling ngenal dan ngerti perasaan lo tuh ya diri lo sendiri. Jadi go ask yourself."

Di saat saya dan Anya sibuk menghakimi, rupanya ada Ayunda yang menanggapi curhatan Jeremy dengan sama seriusnya. Setelah sekian lama, saya kembali dibuat berdesir mendengar dia mengutarakan apa yang ada di pikirannya dengan terus terang dan tepat sasaran. Hadeh, padahal tujuan saya mengajak dia ketemu kan bukan untuk ini.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 19, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sun and MoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang