27| l a t e n i g h t c o n v o

350 56 1
                                    

/ missing you comes in waves, tonight i'm drowning /
🌔🌕🌖

"Bentar. Gue mau ngomong sama lo berdua."

Ucapan Jeremy seketika menghentikan langkah Dio yang hendak menuju kamar dan pergerakan saya yang tengah melepas sepatu. Kami bertiga memang barusan sekali sampai kosan setelah menengok Elang di rumah sakit tadi.

"Ngomong apaan?"

"Soal Ayu."

"Oh..." Saya dan Dio kompak ber-oh rendah. Bedanya, punya dia terdengar patuh, sedang saya berusaha tak acuh.

"Besok aja lah, Jer. Capek gue. Belom belajar juga buat presentasi besok." ucap saya beralasan sebelum melangkah menuju kamar, tanpa menoleh lagi ke arah Jeremy maupun Dio. Demi Tuhan, bukannya saya sok-sokan atau apapun, saya cuman sedang dalam misi membasmi galau berkepanjangan dengan tidak memikirkan Ayunda hingga berlarut-larut. Dan membahas Ayunda bersama Dio tentu bukan ide yang bagus untuk saat ini, yang ada malah bikin saya tambah uring-uringan.

Kalian harus tahu betapa saya mati-matian menahan diri di kamar rawat Elang tadi supaya tidak berjulid ria melihat kelengketan Ayunda dan Dio yang tidak kenal tempat.

Oke, oke, saya mulai berlebihan.

Saya tahu, Ayunda dan Dio memang sedekat itu––ya, kira-kira seperti saya dan Anya. Tapi tetap saja, beda kasus, tidak bisa dianggap remeh begitu saja. Saya maupun Anya dari awal memang tidak ada yang punya perasaan lebih antara satu sama lain, sementara Dio secara terang-terangan mempertontonkan perasaannya untuk Ayunda ke depan kami semua.

Namun sialnya, setelah pintu kamar saya tertutup, saya tidak bisa menahan diri untuk tidak menempelkan telinga di daun pintu demi menguping apapun yang Jeremy dan Dio bicarakan setelah ini.

Hei, tadi saya hanya bilang tidak ingin membahas Ayunda bersama Dio. Saya tidak bilang kalau saya tidak penasaran dengan apa yang hendak Jeremy bicarakan.

"...ya, harusnya lo nggak gitu di depannya Brian, Yo. Mau gimanapun juga dia cowoknya Ayu..."

"Terus, gue mesti gimana, Bang? Ngebiarin Ayu gitu aja dibikin kecewa sama dia? Nggak bisa gue."

"Masalahnya ini tuh urusan mereka, Yo. Bahkan gue sama Anya udah nggak bisa ngapa-ngapain, nggak ada hak juga buat ikut campur."

"Gue bukannya ikut campur. Gue cuman nggak suka lihat Ayu murung, sementara cowoknya itu sama sekali nggak ada usaha buat ngembaliin senyum dia."

"Tapi––"

"Bang, lo tahu gue sayang sama Ayu dari dulu. Dan lo lebih tahu kalau gue nggak bakal ngerebut apa yang masih jadi punya orang lain. Jadi nggak usah kuatir selama gue masih tahu diri dan ngerti batasan."

Dan setelahnya, konversasi mereka terhenti. Saya yang menguping juga berhenti melakukan aksi lancang itu,  memilih melemparkan tubuh ke atas kasur dan merenungkan kembali apa yang barusan diucapkan Dio.

Betul kan apa kata saya, sekalinya membahas Ayunda, pasti saya langsung kepikiran sampai berlarut-larut. Oh, ralat. Bahkan saya tidak ikut membahas, hanya sekedar mendengarkan bahasan tentang dia.

Akibat frustasi yang tak kunjung bertemu ujung, saya mengacak rambut lantas menggulingkan tubuh menjadi tengkurap dan membenamkan wajah di atas bantal. Oke, saya harus memikirkan atau mengerjakan hal lain supaya tidak teringat Ayunda.

Ngapain, ya?

Belajar buat presentasi? Boleh dicoba.

Saya berpindah duduk di depan meja belajar dan mulai berkutat dengan lembar demi lembar materi yang akan dipresentasikan kelompok saya esok hari. Mempan juga rupanya, tanpa terasa hampir dua jam saya habiskan untuk belajar tanpa berpindah posisi dan tanpa terdistraksi hal yang lain-lain.

Sun and MoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang