/ here we go again, with your mixed signals and my second thought /
🌔🌕🌖"Udahan dong ngambeknya..."
Sudah sepuluh menit sejak kami berdua berdiri mengantre di depan booth penukaran tiket dan sudah kesejuta kalinya Dio mengulangi kalimat yang sama.
"Nggak ngambek." jawab saya, juga untuk yang kesejuta kali.
Jadi, begini ceritanya. Tadi saya minta mampir makan dulu di warung mi ayam kompleks sebelum berangkat karena makanan yang dijual di stan-stan sekitar venue jelas bakal luar biasa mahal dan saya sekarang sedang 'jadwalnya', makanya sengotot itu ingin makan mi ayam. Tapi, ingatkah kalian waktu saya bilang Dio ini orangnya gila aturan? Iya, dia ternyata segila dan se-strict itu sama aturan yang dia buat sendiri.
Dan aturan nomor satu, yang mana yang paling menyebalkan bagi saya, adalah tidak boleh makan atau jajan sembarangan.
Orang tua Dio dokter, dari kecil dia sudah dibiasakan hidup sehat dan bersih. Pernah suatu waktu saya ketambahan kuliah dari dia karena ketahuan jajan gorengan di depan kampus. Pernah juga saya diceramahi panjang-lebar di telepon tentang bahaya sering makan makanan yang dibakar seperti sate-satean waktu saya bilang sedang makan malam di angkringan.
Katanya, lebih baik saya minta dimasakin dia daripada jajan-jajan di luar yang belum tentu terjamin kebersihan dan baik-buruknya bagi kesehatan. Ada-ada saja memang.
Tapi jujur, semenjak bersama Dio, keseharian saya yang sebelumnya kelewat bebas dan berantakan, sedikit demi sedikit jadi lebih teratur. Saya betul-betul seperti 'dirawat' olehnya. Ya, walaupun kadang menyebalkan, saya tentu paham kalau itu semua demi kebaikan saya.
"Ya udah. Janji deh, besok kita makan mi ayam kompleks. Gue yang traktir."
Mata saya bergerak cepat dan meliriknya sekilas. Sekaku-kakunya Dio ternyata bisa luluh juga lihat saya ngambek?
"Beneran?" tanya saya memastikan.
"Tapi saosnya dikit aja. Gue tahu lo kalo nuang saos suka nggak kira-kira."
"Oke. Janji, ya?" Saya mengulurkan kelingking saya ke arahnya, mengode dia supaya melakukan hal yang sama, untuk kemudian kami saling melingkarkan kelingking tanda janji telah dibuat.
Bukan, bukan berarti harga diri saya sama dengan harga semangkuk mi ayam. Tapi siapa sih yang bisa menolak kalau sudah begini? Dijanjikan traktiran lagi?
"Yu."
"Hm?"
"Lo beneran nggak apa-apa nanti?"
Saya terdiam, tidak langsung menjawab karena saya tahu betul apa maksudnya. Sejak memutuskan untuk memberi Dio kesempatan, saya dan dia belum pernah benar-benar 'muncul bersama' di depan circle kami. Bukan maksud kami merahasiakan atau bersembunyi, hanya saja saya masih kurang yakin dengan keberanian yang sejauh ini saya coba kumpulkan. Entah cukup atau tidak untuk speak up, karena faktanya masih ada banyak hal yang terus saya kuatirkan.
Tapi sungguhan, dalam situasi dan kondisi seperti ini, memiliki Dio yang begitu pengertian di sisi saya adalah suatu hal yang patut saya syukuri.
"Nggak apa-apa, kan ada lo." jawab saya dengan menyertakan senyum tipis. Kemudian saya beralih mengamati standing poster di sebelah booth, dimana ada foto kelima personil Enam Hari yang turut ambil bagian meramaikan festival tahun ini bersama guest star lain.
They made it.
Siapa sangka? Berawal dari celetukan iseng saya yang mengusulkan untuk membentuk sebuah band, mereka sekarang benar-benar mulai merentangkan sayap di bidang ini. Hanya dalam waktu setahun, mereka menjadikan semuanya nyata.

KAMU SEDANG MEMBACA
Sun and Moon
Fiksi PenggemarIbarat sang surya dan rembulannya, Saya dan kamu dijauhkan Agar belajar lebih dewasa. Saya dan kamu diberi jarak Agar mampu pulih dari luka. Saya dan kamu dipertemukan kembali Agar menjadi insan sempurna. ©2019 • oldelovel