03| d i a d a n g i t a r n y a

1K 114 12
                                    

/ tell me what you listen to, and i'll tell you who you are /
🌔🌕🌖

Wah.

Adalah satu kata yang cocok menggambarkan situasi dan kondisi kosan baru saya karena luar-dalamnya memang seapik dan senyaman itu.

"Masuk, Nak Bri. Nanti saya panggilkan anak-anak buat bantuin bawa masuk barang."

Tuh. Ibu kosnya saja sudah kelihatan ramah dan merangkul begitu.

Setelah semua barang saya terangkut dan Ibu kosan selesai membeberkan secara singkat peraturan-peraturan yang ada, berkumpulah saya, Jeremy, dan tiga anak kosan lain di ruang tamu. Ditemani gitar Jeremy, TV yang menyala, dan toples berisi cemilan ringan di tangan kami masing-masing.

"Info warung mi ayam yang deket sini, dong?" kata saya, menginterupsi fokus mereka ke acara komedi yang sedang ditampilkan di TV.

"Dia tuh demen makan. Jadi nggak usah kaget kalau yang dia kepoin nggak jauh-jauh dari warung ini dimana, resto itu dimana." Itu Jeremy dengan mulut sialnya. Ya, kan sudah kodratnya manusia tidak bisa hidup kalau tidak makan? Oh iya lupa, dia mah tengkorak hidup, bukan manusia.

"Yang enak tuh, setahu gue beda satu blok doang dari kosan putri. Berarti, lima blok dari sini. Eh, iya, nggak sih?" Salah satu anak kos yang baru tadi saya ketahui namanya adalah Marko, menjawab.

"Iya, satu blok doang dari kosan si Anya yang tadi." Jeremy membenarkan. Saya hanya manggut-manggut, berarti lumayan dekat. Ngomong-ngomong tadi saya dan Jeremy sempat mengantar Ayunda dan banana nugget milik Anya ke kosan mereka sebelum ke sini. Tapi tidak mampir, karena Anya pun tidak ada di kosan karena masih mengurusi gawe yang entah apa.

Dan duit saya yang buat bayarin banana nugget-nya Ayunda juga sudah diganti sama orangnya. Nih duitnya masih ada di saku celana, hehe.

"Kenal Mbak Anya juga, Bang Bri?" Itu Javiero yang tanya.

"Brian tuh cowoknya, Jav."

"Mata lu empat, Jer. Nggak usah lambe turah." Saya langsung menimpuk Jeremy dengan bantal sofa. Membuat tiga entitas (minus saya dan Jeremy) yang ada di sini tertawa kompak. Oh iya, yang satu lagi itu Dio. Yang kelihatan paling kalem dan paling normal di antara semua makhluk-makhluk ini.

Dari informasi yang saya ketahui tadi saat sesi perkenalan, Dio dan Marko rupanya satu angkatan juga sama saya, satu kampus pula. Sementara Javiero, yang paling bontot, baru naik kelas 12 SMA. Usut punya usut, dia ternyata ponakannya si Ibu Kos. Dia bilang, sekolahnya kejauhan kalau dari rumah orang tua, makanya tinggal di kosan tantenya yang lebih dekat.

Kesimpulannya, dimanapun itu (minus rumahnya karena dia anak bontot), kayaknya Jeremy bakal selalu jadi yang paling sepuh.

Obrolan ringan kami terus berlanjut hingga derit pagar kosan menginterupsi.

"Sapa, tuh?" Javiero beranjak untuk melihat siapa yang datang. "Oh, Mbak Anya sama Mbak Ayu."

Mbak Ayu? Ayunda, maksudnya?

Saya mengerjap, tangan saya pun secara otomatis tergerak menyisir rambut yang sempat awut-awutan ke belakang. Gila, Bri. Padahal tadi juga ketemu, ngapain masih grogi, sih?

Sun and MoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang