/ that feeling you get when you hug someone and you just don't wanna let go /
🌔🌕🌖Siang hari yang terik dan memanggang itu, saya mengantar Ayunda pulang ke kosannya setelah kami menghabiskan separuh dari hari ini di sebuah toko alat musik, demi menemani dia mencari gitar baru.
Gitar lamanya, Coco, rusak. Dan butuh berhari-hari lamanya bagi saya untuk meyakinkan dia yang sempat bersikeras gitarnya itu masih bisa dibetulkan. Ya, saya tahu benar, memang tidak semudah itu mengganti barang kesayangan, apalagi yang sudah menemani selama bertahun-tahun. Tapi, serius, Coco betulan sudah tidak layak pakai! Sampai kalau kalian lihat sendiri, pasti langsung bertanya-tanya, apa yang sudah diperbuat pemiliknya selama ini hingga bentuknya tidak karuan lagi. Padahal tidak diapa-apakan, cuman termakan usia saja. Andai si Coco-Coco ini manusia, pasti sebentar lagi dia bakal masuk SMP.
"Gitar barunya mau lo namain siapa, nih?" Menunggu lampu merah, saya melirik spion untuk kemudian menemukan wajah berseri-seri Ayunda di belakang saya. Yeu, awalnya saja berat hati harus melepas Coco. Sekarang dia malah kelewat girang menyandang case berisi gitar baru di punggungnya.
"Siapa ya, Bri? Lo ada ide, nggak?
"Hmm..." Saya berdeham panjang. "Alekha?"
"Kok Alekha?"
"Dari nama lo. Chandralekha."
"Nggak mau ah, terlalu cewek."
"Lah? Emang udah dicek, itu jenis kelaminnya cowok apa cewek?"
"Udah, dan dia cowok." jawabnya sok serius. "Radith aja bagus, nggak? Dari nama lo."
"Biar apa coba pakai nama gue?"
"Biar inget Briananda Radithya Kusuma terus walaupun lagi nggak sama orangnya."
Sudut bibir saya mendadak berkedut, nyaris kehilangan kemampuannya menahan senyum. "Gimana, gimana?"
"Nggak ada siaran ulang."
"Dih. Ulang, nggak?"
"Heh, lampunya udah mau ijo."
Mata saya terarah ke hitungan mundur lampu merah yang sudah tinggal lima belas detik. "Ulang dulu buruan, nggak mau jalan nih kalau nggak diulang." ancam saya setengah bergurau. "Atau kalau nggak mau ngulang, pegangan ke gue aja deh. Masa sebelum pacaran sama pas udah pacaran nggak ada bedanya? Diboncengin tapi pegangannya tetep ke belakang?"
"Bri, modusmu!" Dia lantas tertawa salah tingkah.
"Ya, terserah sih. Gue bilang gini buat safety aja." Saya melirik spion lagi, mendapati Ayunda kini hanya memanyunkan bibir. Sambil terkekeh gemas karenanya, saya bersiap memutar handle gas.
Dan saat lampunya berubah hijau, sama sekali tidak terpikirkan oleh saya kalau Ayunda betulan akan melingkarkan kedua tangannya di pinggang saya, tepat di detik ketika motor saya lajukan.
Spontan saya melipat bibir dalam-dalam, mencoba menahan senyum khas orang kasmaran, namun gagal. Mungkin sepulang dari kosan Ayunda nanti, saya harus cek gula darah. Atau sekalian cek kejiwaan juga, ya? Habisnya, perempuan yang duduk di boncengan saya ini kelewat manis sih!
Mungkin dia sadar saya sengaja menurunkan kecepatan hingga tidak lebih dari empat puluh kilometer per jam. Mungkin lagi dia sadar, bahwa sama halnya dengan dia, saya juga tidak ingin cepat-cepat sampai tujuan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Sun and Moon
Fiksi PenggemarIbarat sang surya dan rembulannya, Saya dan kamu dijauhkan Agar belajar lebih dewasa. Saya dan kamu diberi jarak Agar mampu pulih dari luka. Saya dan kamu dipertemukan kembali Agar menjadi insan sempurna. ©2019 • oldelovel