/ she had the most beautiful thing i had ever seen and it took only her laugh to realize that beauty was the least of her /
🌔🌕🌖
"WEH, BRIII!!!!"
Saya yang sedang sibuk menunaikan hobi yakni menulis lagu di kamar kos, mendadak tersentak begitu mendengar seruan Jeremy dari luar.
"BRIIII, ANJIR! DENGER GUE NGOMONG NGGAK, SIH?"
Pintu kamar saya terbuka dan kepala kecil Jeremy mengintip dari baliknya.
"Nggak. Kirain ayam jagonya Pak RT berkokok." jawab saya asal.
"Serius, elahhh!"
"Lagian berisik banget. Kenapa, sih?"
"Gini." Jeremy segera memasuki kamar tanpa butuh izin dari saya. "Ada bocah namanya Dimas, dia anak temennya nyokap gue. Jadi gue deket banget lah sama dia dari kecil. Nah, si Dimas ini sekolahnya di Tunas Pertiwi, SMA gue dulu."
"Terus? To the point aja, lah! Gue lagi sibuk gini malah disuruh dengerin riwayat hidup anak orang." cecar saya nggak sabaran.
"Iya, iya. Jadi besok malem Tunas Pertiwi ngadain festival musik, dan gue di-invite sama dia. Bukan cuman jadi penonton, tapi juga pengisi acara. Kampret banget ya, nggak?"
"Ya, terus masalahnya dimana?"
"Nah, itu dia. Lo inget, nggak? Yang gue pernah curhat ke lo, tentang cewek yang dulu les musik sama gue?"
"Yang bocah SMP itu? Inget, inget. Bianca, kan?"
"Iya!! Gue baru inget kalau dia juga sekolah di Tunas Pertiwi, satu angkatan sama si Dimas. Gobloknya gue baru sadar tadi, Bri. H-1 banget!"
"Terus?" Jangan protes, saya yang masih belum paham maksud dari curhatan Jeremy, nggak tahu harus bagaimana selain bilang terus-terus.
"Due to adek sepupu gue yang satu itu nggak bisa diandalkan, jadinya gue minta tolong ke Ayu gantiin gue perform. Gue udah hampir sujud syukur waktu dia bilang oke, eh ternyata ada lanjutannya. Dia mau-mau aja asal gue temenin sampai acara buyar. Ya, apa bedanya sama gue perform sendiri, njir? Toh, sama-sama punya peluang ketemu Bianca juga."
"Masih juga pengecut ya lo, Jer? Udah hampir dua tahun lho ini." Saya menggeleng nggak habis pikir, mengingat betapa pengecutnya Jeremy yang waktu itu baru lulus SMA. Dengan begitu putus asa, menceritakan semua keluh kesahnya tentang Bianca kepada saya dan Anya, sewaktu mereka berdua berlibur ke Surabaya, lantas menuangkan pemikirannya dalam sebuah lagu sederhana yang hingga saat ini file-nya masih tersimpan di laptop kami masing-masing. Siapa sangka kalau Jeremy di hadapan saya sekarang, masih sama pengecutnya dengan Jeremy yang itu.
"I know right. Tapi mau gimana lagi, Bri? Gue masih nggak siap kalau harus ketemu dia. Jadi tolongin gue, ya? Nemenin Ayu doang, tiketnya udah gue yang beli."
"Tapi gue kan bukan alumni, Nyet? Nggak kenal siapa-siapa. Pas Ayunda perform gue cengo sendirian dong?"
"Ya, lo ngapain kek. Jajan atau apa biar nggak cengo. Sumpah ya, Bri, kalau Anya nggak lagi pulang ke rumah keluarganya, gue minta tolongnya ke dia kok. Ribet sama lo mah!"
"Bilangnya minta tolong, tapi pakai ngata-ngatain segala?"
"Nggak mau? Ya udah, tiketnya gue kasih ke Dio aja, biar sekalian PDKT tuh bocah-bocah."
Saya terkesiap, buru-buru menghalangi langkah Jeremy yang siap melenggang keluar dari kamar saya. Harus Dio banget sih, Nyet??
"Ngapain lagi lo?" Alis Jeremy berjingkat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sun and Moon
FanfictionIbarat sang surya dan rembulannya, Saya dan kamu dijauhkan Agar belajar lebih dewasa. Saya dan kamu diberi jarak Agar mampu pulih dari luka. Saya dan kamu dipertemukan kembali Agar menjadi insan sempurna. ©2019 • oldelovel
