9. Salah

903 131 0
                                    

Song Woorin

Sebulan kembali berlalu. Aku merasa waktu memang berjalan lambat setiap saatnya. Tapi kali ini aku merasa ada yang salah.

"Aku sudah menyiapkanmu sarapan dan kopi." Kataku pada Jihoon.

Aura dingin yang terpancar. Suasana begitu mencekam ketika Jihoon mengabaikanku dan berjalan melewatiku begitu saja.

Dan hanya membalasku dengan, "Aku tidak lapar."

Tanpa senyum dan tanpa ucapan salam. Jihoon semakin dingin padaku. Dia terus mengabaikan semua masakan yang ku buat untuknya. Dia tidak pernah memberitahuku jika ingin lembur setiap hari. Dia juga tidak pernah lagi mau menunggu sarapanku ketika aku telat bangun.

Kopi yang dengan sengaja ku siapkan untuknya selalu terbuang sia-sia ke lubang wastafel. Padahal aku sudah berusaha keras membuatkan kopi yang sesuai dengan kopi buatannya sendiri.

Aku membuatnya dengan susah payah. Beberapa kali lidahku mati rasa. Beberapa kali lidahku juga terbakar karena tidak ingat jika air masih mendidih. Beberapa kali juga lidahku tidak bisa merasakan apa-apa sampai Joshua mau menemaniku ke dokter untuk memeriksakannya.

Tapi sekarang kopi ini justru dirasakan oleh tempat pembuangan air. Rasanya lebih sakit dari pengabaiannya sebelumnya. 

Ada apa dengannya? Apa aku melakukan kesalahan? Apa aku sudah salah bersikap? Apa salahku? Kenapa sekarang dia lebih berubah? Aku semakin tidak kuat jika seperti ini. Aku seperti zombie yang hidup tanpa nyawa.

Setetes air mata kembali tergenang di mataku. Tidak dapat turun dan hanya menggenang di sana.

Rasa sesak di dadaku makin terasa sejak Jihoon memberikan aura kebenciannya padaku. Aku bisa melihat itu. Tatapannya, kata-kataknya, ekspresi dan juga sikapnya. Itu jelas menunjukkan jika dirinya membenciku.

Jika seperti ini kenapa dia tidak menceraikanku??! Aku berteriak dalam hati.

Ku cakar-cakar lenganku sendiri. Ku tepuk-tepuk pipiku sendiri. Ku sekat air mataku sendiri. Semuanya sendiri. Tidak ada yang bisa membantuku. Aku memang selalu hidup dalam kesendirian.

Sadar dengan apa yang sebenarnya terjadi. Ternyata selama ini aku masih mengharapkan Jihoon. Aku masih mengharapkan perasaan Jihoon untuk menganggapku keluarganya. Ternyata aku memang masih mencintai Jihoon.

Perasaanku tumbuh ternyata bukan karena hanya kagum.

Karena aku salah satu orang yang percaya. Jika kita suka dengan seseorang karena rasa kagum, maka kita akan melupakannya dengan mudah. Tapi jika kita suka karena hal yang sulit untuk dijelaskan, percayalah mungkin itu merupakan perasaanmu sesungguhnya.

Hanya tinggal menunggu waktu, apakah perasaan itu menunjukkan wujud sempurnanya seperti bulan purnama atau hanya setengah seperti bulan sabit.

Tatapanku berubah kosong.

Mengingat kepercayaanku itu sekarang membuatku yakin, jika aku harus melupakan perasaan sepihakku ini. Jihoon tidak akan benar-benar mencintaiku. Jihoon tidak akan benar-benar menganggapku istri. Jihoon hanya menganggapku sebagai pengganti orang tua. Atau lebih parahnya pembantu.

Tapi itu tidak masalah. Karena pembantu tidak lebih buruk dari pekerja wanita pemuas hasrat. Sampai sekarang aku masih suci. Jihoon tidak pernah menyentuhku. Dia sangat menjagaku. Bahkan sampai kami tidak pernah benar-benar bersentuhan.

♡♡♡

Ting.. Tong..

Aku berjalan santai menuju depan pintu setelah mendengar bunyi bel. Tidak ada lagi rasa penasaran akan siapa yang datang? Apa ini Jihoon yang datang? Atau orang-orang yang akan berhubungan dengan Jihoon.

WWWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang