59. Iri

675 72 23
                                    

Lee Jihoon

Jengkel. Kesal. Mau marah, tapi tidak bisa. Bagaimana cara aku bisa kalah telak dengannya?

Mataku menatap panas ke arah pria yang menggendong Woojin. Tidak henti-hentinya aku menunjukkan rasa iri di wajah ini. Sejak dia datang hingga saat ini, Woojin terus bermain dengannya.

"Woojin.. Samchon kok merasa ada aura jahat disekitar sini ya? Woojin merasakannya tidak?" Sekarang dia mengejekku. Dia mau ku bunuh ya? Batinku makin panas.

Tatapanku semakin membunuh ke arah Soonyoung. Tapi dia justru memberikan punggungnya padaku sampai aku tidak bisa melihat anakku sendiri. Lipatan tangan didadaku makin mengerat bersamaan dengan tepalan ditangan.

Jika tidak ada yang menyentuhnya, mungkin aku sudah melukai telapak tanganku sendiri.

"Mukanya jangan menyeramkan begitu, nanti Woojin nangis lagi." Kata Woorin. Lebih berhati-hati bicara denganku saat ini. Ya sejak Woorin melahirkan aku jadi sedikit sensitif.

Aku sendiri juga aneh. Bukan aku yang hamil. Bukan aku juga yang merasakan sakitnya lahiran. Saat Woorin ngidam pun, aku juga tidak sensitif. Tapi sekarang aku jadi sesensitif ini.

Bukan karena efek menjadi seorang appa, tapi sebenarnya karena aku merasa gagal jadi appa setelah melihat Soonyoung. Dia yang lebih telaten menjaga Woojin!!

"Aku kesal melihat Soonyoung." Ungkapku dengan suara kecil.

"Bukankah aku sudah mengajarimu sedikit-sedikit cara menggendong Woojin?"

"Hanya menggendong. Tapi Woojin langsung menangis setelah itu." Suaraku kian menunjukkan keirian setelah Woojin tertawa melihat wajah bodoh Soonyoung.

Aishh.. Apa ini karena Woorin mengidam Soonyoung saat itu, sampai anakku pun terbawa suka dengan Soonyoung?

"Woojin bukan menangis, tapi dia kesakitan kali tiduran dilengan kerasmu." Sahut Soonyoung.

"Memangnya lenganmu sendiri tidak keras?" Ketusku.

"Lenganku ini kan empuk." Cengirnya. Woojin tersenyum kembali melihat Soonyoung. Rasa iri ini semakin berkecamuk.

"Senangnya lihat kamu senyum karena muka samchon. Samchon lucu ya?" Soonyoung mendekatkan wajahnya agar bisa diraih Woojin.

"Sebenarnya di sini siapa appa-nya?!" Tanyaku dengan keemosian.

Namun sepertinya itu bermakna lain untuk Woorin. Dia sontak memelukku dan meminta maaf di lenganku. "Kenapa kamu yang minta maaf?" Dan aku belum sadar alasan Woorin meminta maaf.

"Sudah jadi appa masih saja tidak peka."

"Diam kau!" Ucapku lagi penuh penekanan padanya. Tapi dengan suara pelan agar Woojin tidak makin menangis. Soonyoung pun tertawa karena senang melihatku tidak berkutik.

Ku pegang kedua pipi Woorin. Menatap kedua matanya dalam dan mengelus-elus pipinya. "Aku menyakiti hatimu lagi ya?" Tanyaku. Kali ini aku yang hati-hati.

Aku mendekatkan wajah kami. Memejamkan mata sesaat untuk membasuh bibir tipis Woorin dengan sebuah kecupan lembut. Menggunakan tanganku demi menutupi pandangan Woojin ke bibir kami.

"Ekhem.. Ada anak kecil di bawah umur dan pria dewasa single." Aku terpaksa menjauhkan bibir kami dan kembali menatap tajam Soonyoung.

"Begini lebih baik." Kata Soonyoung. Tanpa rasa bersalah.

"Sebenarnya apa niatmu ke sini? Sudah mengganguku dan mengambil anakku, apa maumu lagi??" Geramku.

"Kan tadi aku sudah bilang aku ingin menjenguk keponakan manisku ini. Masa lupa?" Santai Soonyoung sambil menimang Woojin yang mulai tertidur. Kapan aku bisa menidurkan Woojin? Batinku. Lagi-lagi iri.

WWWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang