41. Pengangguran

860 99 4
                                    

Lee Woorin

Tukk.. Tukk..

"Sebentar." Teriakku dari arah dapur.

Aku mematikan beberapa kompor dan juga pemanas nasi yang sudah matang. Mengecek kembali apakah cupcake yang sedang ku panggang sudah matang atau belum di oven. Mengelap tanganku dengan celemek, lalu melepaskan celemek itu.

Tapi tanganku berhenti saat sebuah tangan ikut melingkarkan tangannya di pinggangku. Menarikku untuk lebih dekat sampai akhirnya dia menyapu bibirku dengan sebuah kecupan. Seulas senyum tercetak di wajahku.

"Kan sudah ku katakan tidak perlu melakukan apa-apa. Banyaklah istirahat." Omelnya. Terdengar lembut.

"Aku bosan." Yang ku balas singkat.

"Baiklah. Tapi dia tidak sakit kan?" Jihoon bergerak mengusap perutku yang masih setengah datar. Tentu saja, ini baru satu bulan tiga hari. Kalau dari kalender kehamilan, perutku memang masih akan datar sampai di usia 4 bulan.

"Dia baik-baik saja." Senyumku tidak juga luntur dari bibirku. Wajahnya memang obat penenang dan bahagiaku. Tidak ada rasa bosan setiap kali melihat karismanya.

"Kok sudah pulang?"

"Tidak suka aku pulang? Aku terlalu merindukan kalian." Ucapnya terang-terangannya.

Sejak beberapa hari lalu. Tepatnya saat Jihoon tau tempat persembunyianku, dia jadi lebih mengutarakan isi hatinya. Tidak hanya itu, bisa dilihat sekarang. Jihoon yang dikenal tidak pernah menyentuh istrinya, sekarang bisa mencium istrinya tanpa ragu.

Bagaimana hatiku makin tidak luluh? "Aku juga rindu." Dan buat aku makin ingin bermanja dengannya.

"Ini harum sekali. Kau masak yang manis-manis?" Tebak Jihoon.

"Cupcake."

"Apa anak ini lagi mau yang manis? Kenapa kamu tidak bilang? Nanti kan pasti appa belikan agar eomma-mu tidak lelah." Jihoon berjongkok untuk mensejajarkan kepalanya di perutku. Mencium singkat bagian pusar perutku seakan itu tempat berkomunikasi antara dia dengan anaknya.

Melihat bagaimana Jihoon menyayangi anak di dalam perutku, membuat rasa malu menjalar di seluruh tubuhku. Pasalnya karena tau aku akan hamil, aku pergi meninggalkannya hampir kurang lebih sebulan. Aku takut Jihoon tidak bisa menerima kehamilanku dan akhirnya pergi meninggalkanku dengan orang lain.

Siapapun akan tau jika ciuman mereka saat itu bukan ciuman biasa. Itu lah yang membuatku yakin Jihoon tidak akan menerima berita ini. Sampai aku benar-benar meninggalkannya dan membuat Jihoon jadi berantakan. 

Jujur. Setelah sekian lama aku tidak melihatnya, Jihoon memang terlihat kacau dengan mata bengkak dan wajah kusam. Rumah ini pun lebih berantakan dari terakhir kali aku meninggalkannya. Sampah makanan di mana-mana, barang-barang tidak ada yang diletakkan pada tempatnya dan lebih penting, baju-bajunya berserakkan di mana-mana. Bisa diibaratkan seperti gudang jika aku kasar.

Menurut Soonyoung pun, Jihoon saat itu seperti beruang yang berhibernasi. Hanya bisa tiduran dan makan jika disuruh. Apa mungkin Jihoon tidak mandi jika Soonyoung tidak menyuruhnya?

Sepertinya tidak akan separah itu.

"Kamu bengong lagi. Ada yang dipikirkan?" Cubitnya lembut di pipiku.

"Oppa belum menjawab pertanyaanku sebelumnya." Kataku. Mengalihkan topik pikiranku.

"Kamu juga melupakan sesuatu." Senyumnya. Aku bingung. Seingatku tidak ada yang ku lupakan.  Apa ada?

"Aku kan ingin kamu tidak memanggilku oppa lagi. Kita sudah berjanji untuk memulainya dari awal. Itu artinya tidak akan ada lagi perbedaan umur diantara kita." 

WWWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang