47. Sensi

651 80 9
                                    

Lee Woorin

Hari ini perasaanku tidak enak. Rasanya seperti ada kekhawatiran tinggi. Itu juga alasanku sekarang ikut dengan Jihoon ke kantornya.

Ku kira dengan ikut dengannya akan membuat kekhawatiranku sedikit berkurang, tapi kenapa aku sama sekali tidak bisa menghilangkannya? Kenapa dengan perasaanku ini?

Kedua tangan ini ku dekatkan pada jantungku. Rasa khawatir ini sangat tidak mengenakkan. Aku hanya berharap ini bukan hal buruk yang akan menimpaku, Jihoon dan anak kita.

"Ada apa?" Pertanyaan Jihoon mengagetkanku.

"Ne?" Karena bengong sejak tadi, aku tidak mendengar jelas apa yang dikatakannya.

Dengan pandangan yang masih menatap lurus pada jalan. Salah satu tangan Jihoon bergerak lincah menyentuh tanganku tanpa salah arah sedangkan tangan lainnya masih memegang setir. Mengusap-usapnya seakan membagi ketenangan.

"Apa yang kamu khawatirkan?" Bagaimana dia bisa tau? Batinku.

"Katakanlah. Sejak tadi kamu diam saja dengan wajah yang resah. Aku jadi ikut khawatir." Katanya lagi masih fokus pada jalan.

"Kenapa bisa tau?" Ku utarakan kebingunganku.

"Aku suamimu." Singkatnya. Sukses membuat sudut bibirku terangkat setelah beberapa jam lalu belum tersenyum sedikit pun.

"Aku tidak tau."

Tangan Jihoon beralih menuju pipi yang makin chubby ini, mencubitnya cukup kuat hingga pipiku tertarik. Namun tidak ada rasa sakit yang terasa karena dia sudah sering mencubitnya. "Kalau tidak tau, kenapa dipikirkan? Kamu ini masih hamil, tidak boleh pikir yang berat-berat. Cukup berat badanmu saja yang bertambah."

Aku mengerucutkan bibirku karena ledekannya lagi. Aku sedikit sensitif jika sudah disinggung dengan berat badan. Wajar memang jika kehamilan ini membuatku gemuk, tapi..

"Kalau aku sedang tidak menyetir, aku ingin sekali memeluk gulingku ini." Tawanya puas. Aku tidak suka disamakan dengan guling.

Ku putuskan membuang mukaku dan tidak mau menatapnya lagi untuk saat ini. Bibirku juga masing mengerucut. Tangannya sesekali berusaha mencubit pipiku, tapi aku memukul tangannya dan menutup pipiku dengan kedua tangan.

"Woorin.." Dia mulai memanggil-manggilku dengan suara yang sengaja dibuat imut. Aku tidak mau luluh.

"Wooyin.." Dia membuatnya semakin imut. Aku belum luluh.

"Sayang.." Panggilnya lembut. Aku masih kuat.

"Fokus ke jalan." Perintahku.

"Mau dilihat sayangku Wooyin dulu." Killing Aegyo. Aku tidak sanggup.

Cup

Saat aku berniat melihatnya, wajah Jihoon ternyata sudah berada tepat di depanku. Alhasil bibirnya pas mengenai bibirku. Dia tersenyum hingga matanya menyipit. Tangannya menyentuh kepala bagian belakangku. Melanjutkan ciumannya yang sedikit menuntut balasan.

Setelah aku luluh untuk membalasnya, dia berhenti sepersekian detik setelah aku mulai nyaman. Aku pun kembali manyun. "Kok sebentar?"

"Tadi ngambek, sekarang nagih. Kamu kok minta dipeluk sekali sih.." Dia berniat memelukku, tapi aku mendorongnya.

"Tidak mau dipeluk kamu. Aku marah."

"Kalau begitu ku cium lagi deh." Rayu Jihoon.

"Tidak mau. Cepat nyetir, ini di jalan."

"Ini di parkiran. Kita sudah sampai." Tawanya lagi.

Aku sontak celingak-celinguk melihat deretan mobil yang ada di depan kami sudah terparkir rapi. Jelas sekali ini memang sudah di parkiran. Aku bodoh sekali.

WWWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang