46. Kontrak

676 81 12
                                    

Lee Jihoon

Aku belum siap mengatakan ini. Kenapa appa memintaku mengatakannya secepat ini? Bagaimana reaksi Woorin nanti? Aku tidak mau sampai mengganggu kehamilannya.

Ku rangkul pinggang Woorin selama membawanya berjalan ke dalam perusahaan appa. Yang mungkin sebentar lagi akan diberikan padaku.

Beberapa pegawai melihat kami dari lobby sampai di dalam lift. Ini memang pertama kalinya aku membawa Woorin ke perusahaan appa. Pasti para pegawai sedikit aneh dengan kehadiran seorang wanita didekatku.

Tidak hanya dengan teman-teman perempuan, dengan pegawai perempuan pun aku bertindak dingin dan cuek. Jika tiba-tiba mereka melihatku memeluk wanita, mungkin mereka tidak akan percaya dia istriku jika Woorin tidak mengandung.

Belum lagi, sejak dulu reputasiku dengan perempuan sudah buruk dikalangan siapa saja. Entah itu gosip darimana. Tapi mereka membicarakan hal yang benar.

Kenapa mereka tidak membicarakan Woorin sebagai istriku saja? Itu kan bisa membuat pikiran campur adukku ini menjadi lebih baik.

"Sejak tadi kamu hanya diam, pasti kamu memikirkan sesuatu kan? Kamu tidak mau menceritakannya padaku?" Kata Woorin. Akhirnya dia menanyakannya juga. Tapi aku harus mengatakan darimana? Aku sendiri tidak tega mengatakan ini. Aku tidak mau menyakiti perasaannya.

"Nanti kamu tau sendiri kok." Ucapku lembut. Menyesir rambut panjang yang menutupi mata bulat kecilnya. "Tapi kamu jangan terkejut ya saat mendengar ini." Tatapku penuh harap.

"Kamu yang begini justru buat aku sedih. Padahal baru beberapa jam yang lalu kita masih tertawa dan bercanda-canda." Lesunya.

Ok.. Sekarang aku membuat wanita yang paling ku sayang bersedih. "Mianhae. Aku bukan tidak mau memberitahukannya padamu. Aku hanya tidak bisa mengatakannya. Aku takut kamu.."

Woorin menatap mataku penuh harap, tapi ketika pintu lift terbuka dan beberapa orang masuk kembali, aku mengurungkan diri lagi. "Kamu dengar sendiri dari appa saja ya." Ku kecup kepalanya agak lama. Biarkanlah aku dan Woorin menjadi tontonan pegawai, aku hanya ingin menjaga Woorin sampai berita buruk ini didengar Woorin sendiri.

Aku akan selalu berada disampingnya dan menguatkannya. Seperti dia yang menguatkanku berkali-kali.

Woorin sama sekali tidak tersenyum mendapat kecupan dariku. Aku ikut sesak melihat ekspresinya. Walau aku mengusap pipinya, tetap saja yang ditunjukan Woorin hanya senyum tipis. Terpaksa aku menahan keinginan untuk memeluknya.

Membawanya berjalan kembali pelan-pelan sampai menuju ruang utama direktur. Ku bukakan pintu untuk Woorin. Di dalam pun sudah ada appa yang menunggu kami dengan wajah seriusnya memandang kertas-kertas.

"Annyeonghaseyo appa." Sapa kami bersamaan.

"Annyeonghaseyo.. Woorin-ah, bagaimana kabarmu?" Tanya appa. basa basi.

"Baik appa. Appa bagaimana?"

"Seperti yang kau lihat." Appa menurunkan kacamata bacanya setelah selesai dengan berkas-berkas itu. Suasana jadi mencekam karena mata appa menatap lurus ke arahku. Aku sampai bisa berhalusinasi merasakan keringat membasahi keningku di ruangan ber-AC ini.

"Appa baik-baik saja. Duduk lah. Kau pasti lelah bukan? Apa Jihoon memperlakukanmu dengan baik?" Tanya appa lagi.

Aku membawa Woorin duduk terlebih dahulu agar dia tidak merasakan gugup yang ku rasakan di depan appa. Ini pertama kalinya aku merasa gugup dengan appa sendiri. Aku siap mendapat kemurkaannya.

WWWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang