49. Kangen

657 84 24
                                    

Lee Woorin

Beberapa hari ini, aku belum bisa melupakan kejadian yang sempat membuatku lemah dan pucat.

Appa benar-benar nekat. Sudah berkali-kali appa terus saja mendatangi kantor untuk mengambilku kembali. Walau tidak terlalu sering datang, tapi aku tentu tidak bisa bersikap biasa dengan ini. Appa buka tipikal orang yang akan berhenti jika tidak mendapatkan apa yang harus menjadi haknya.

Bukan aku. Tapi aset dari perusahaan yang sekarang sudah berada di tangan Jihoon.

Sekarang Jihoon sudah resmi menjadi presdir dari perusahaan besar milik Lee Grup. Tidak tau berapa banyak anak perusahaan yang sudah bergabung dengan perusahaan ini. Yang pasti, kekayaan Jihoon tidak akan habis jika hanya untuk kehidupan sehari-hari sampai 7 turunan. Atau bahkan lebih.

Namun tetap saja, kekayaan itu tidak akan bertahan lama jika tidak dimanfaatkan dan dikelola dengan baik. Termasuk jika membiarkan appa menggunakannya sesuka hati. Walau aku merupakan darah dagingnya, aku juga tidak setuju jika keluarga Jihoon menjadi korban appa.

Setidaknya hanya itu yang bisa ku berikan atas rasa terima kasihku padanya selama ini.

Dan saat ini, aku dan Jihoon sedang jalan bersama menuju cafe yang sudah lama tidak Jihoon kunjungi. Cafe milik Joshua.

Jihoon begitu khawatir dengan pikiranku yang tidak bisa teralih dari masalah-masalah perusahaan. Dia takut kehamilanku yang sudah berjalan 3 bulan ini akan terganggu. Belum lagi efek samping dari pembebanan pikiranku yang membuat tubuhku mau tidak mau berkali-kali kembali ke rumah sakit.

Karena itu sekarang Jihoon meluangkan waktunya dari jadwal yang padat untuk menemaniku mengunjungi Joshua. Berharap pikiran ku bisa teralihkan. Alasan lainnya dia bolos kerja karena masih cemburu dengan kedekatanku bersama Joshua. Padahal dia sudah tau dengan cerita sebenarnya antara aku dengan Joshua.

Tapi tetap saja dia tidak membiarkanku pergi sendiri.

Dia bahkan mengelak dan terus beralasan. "Aku tidak secemburuan itu. Aku hanya ingin menjaga kandunganmu yang semakin besar itu. Kalau terjadi apa-apa, aku kan bisa langsung berada di sampingmu." Begitu katanya.

Bagaimanapun dirinya, aku tetap bisa menganggap kecemburuannya itu. Terutama karena Joshua lah satu-satunya orang yang membuatku nyaman dan memiliki rasa sayang yang sama besar dengan yang kuberikan pada Jihoon.

Lebih besar Jihoon sedikit.

Baru saja kami melewati kantor yang dulu menjadi tempat Jihoon mengejar impiannya. Kami sempat berhenti sesaat melihat gedung yang besar namun minimalis itu. Dapat ku lihat sorot mata kerinduan yang nampak jelas pada dirinya. Sebesar apapun Jihoon berusaha menyukai pekerjaannya sekarang, tetap saja jiwanya hanya untuk musik.

Aku pun menggenggam tangannya yang ada di tuas rem. Sontak dia memberikan atensinya padaku setelah beberapa saat hanya fokus pada gedung disebelahnya. Dia tersenyum padaku. "Nan gwaenchana. Beberapa bulan sudah berlalu. Sebentar lagi setahun juga akan terlewat. Tidak terasa aku sudah berhenti bermusik selama itu."

Hatiku terisak. Mataku bisa saja mengeluarkan air mata jika tidak ku tahan. "Jihoonie.." Rilihku.

Dengan tanganku yang masih menggenggam tangannya, Jihoon menarik kembali tuas rem itu untuk melanjutkan perjalanan yang tidak lama lagi. Meninggalkan sisa harapannya hanya agar aku tidak merasa menyesal sudah membuat Jihoon meninggalkan impiannya.

Belum sempat aku berkata sepatah kata, Jihoon sudah mengatakan sesuatu. "Ku dengar agensi ini sedang kehilangan banyak trainer naungannya. Beberapa lebel tidak diterima publik karena kurang komersil. Ada beberapa grup juga pindah agensi. Sepertinya keputusanku untuk keluar dari perusahaan itu sangat tepat. Terima kasih karena sudah menyadarkanku sebelum terlambat." Ucapnya sambil mencium tanganku.

WWWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang