34. Mencintainya

649 98 14
                                    

Lee Jihoon

Aku sudah tidak mampu lagi menahannya.

Woorin sama sekali tidak ada kabar. Pesan-pesanku tidak lagi ada yang di balasnya. Teleponku tidak ada yang diangkatnya. Semua terputus dan hilang.

Ke mana Woorin sebenarnya? Aku tidak bisa menjernihkan pikiranku. Entah sudah berapa banyak pesan dan telepon yang ku layangkan padanya, tapi tidak satu pun mendapat balasan. Apa kali ini aku boleh mendatanginya? Aku tidak mau pikiran burukku membuat aku lagi-lagi tidak berkonsentrasi di kantor.

Dan ya..

Hari ini aku sengaja meliburkan diri. Aku tidak masuk kerja. Alias absen tanpa alasan dan tidak memberitahu pada kantor sekali pun. Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi tanpa kabar. Aku ingin menemui istriku sekarang juga.

Baik akan diusir atau bertengkar sekali pun, aku tidak peduli. Aku hanya ingin segera membawa pulang istriku. Lagipula, apa salah seorang suami ingin menemui istrinya? Apa salah jika suaminya ingin segera istrinya pulang? Kenapa mereka selalu menahanku dan tidak memperbolehkanku untuk datang hanya menemui Woorin?

Apa mereka mau membuatku menyesal karena sudah menyia-nyiakan anaknya yang baik dengan memberikan kehidupan yang sengsara? Menyesal karena sudah menikahkannya pada pria yang tidak mencintainya? Dulu.

Sekarang mereka berhasil. Ya. Sangat berhasil. Aku sungguh-sungguh menyesal. Aku menyesal karena menjadi suami yang jahat. Aku tidak mau lagi menyia-nyiakan Woorin. Aku akan menganggap Woorin sebagai istriku seutuhnya mulai saat ini.

Aku menyesal dan sekarang aku sadar. Aku mencintainya.

Ucapku dalam hati. Sekaligus belajar untuk bermonolog nanti di depan kedua orang tua Woorin agar aku bisa meyakinkan mereka untuk membawa pulang Woorin nanti. Aku tidak mau sendirian lagi di rumah.

Soonyoung benar. Aku bisa gila jika terus sendirian. Di rumah selalu saja ada hal-hal kecil yang mengingatkanku pada Woorin. Saat tidur, saat makan, saat di ruang tengah, bahkan saat di kamar mandi. Padahal kami tidak pernah mandi bersama.

Berkali-kali Jihoon mengetuk-ngetukkan kepalanya pada kemudi saat lampu hijau berganti merah. Suara nada dering dari ponselku menjadi penemanku selama perjalanan. Banyak sekali yang meneleponku saat ini. Dari Soonyoung, Seungkwan, Bumzu hyung, atasan sampai nomor-nomor yang tidak ku kenal.

Tidak ada yang ku angkat. Aku hanya akan mengangkat telepon dari satu nama. Lee Woorin.

Ku cepatkan laju mobilku kembali saat pekarangan rumah orang tua Woorin mulai terlihat. Ku ingat-ingat dan ku pastikan berkali-kali apakah ini rumah yang benar. Setelah di rasa tepat, tanpa ragu aku turun dari mobil dan menekan bel di rumah. Dengan rasa tidak sabaran aku juga mengetuknya sambil terus membunyikan bel pintu.

"Sebentar." Suara dari dalam membuat kegiatan merusuhku terhenti.

"Woorin di mana?" Tanyaku langsung saat ibu-ibu paruh payah membukakan pintu padaku dan menyejitkan keningnya.

"Woorin?"

"Woorin di mana?" Ulangku dengan nada tidak sabaran.

"Nona Woorin.. tidak ada."

Aku tertawa meremehkan. "Jangan bercanda. Aku ingin bertemu istriku." Ucapku lebih lantang.

Pekerja rumah tangga itu terlihat takut melihatku. Dia berlalu lari begitu saja ke dalam seperti memanggil seseorang. Tapi itu bukan orang yang ku cari.

"Jihoon-ssi, ada apa kau datang ke kediamanku?" Sapanya ramah.

"Mianhamnida tuan Song." Tundukku sopan pada appa Woorin. "Saya ingin menjemput Woorin kembali."

WWWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang