6. Hanya Perasaanku

890 126 10
                                    

Lee Jihoon

Woorin sudah pergi. Entah kenapa sekarang dadaku merasakan sesak. Aku sungguh tidak enak. Apalagi setelah mengetahui arti raut Soonyoung tadi.

"Kau keterlaluan." Kata Soonyoung. Kemudian dia tidak melanjutkan kata-katanya dan kembali memfokuskan diri pada pekerjaanya mengacak-acak gambar lingkaran.

Aku mengerti maksudnya. Pasti itu menyangkut diriku yang menyuruh Woorin seenaknya. Tapi aku tidak tau jika itu sikap yang akan menyinggung seseorang. Aku baru menyadarinya.

Beberapa detik setelah Woorin menutup pintu. Hatiku langsung tergerak dengan detak jantung yang berhenti bersamaan suara knop pintu berbunyi.

Kenapa juga aku harus terlambat menyadarinya?

"Aku baru sadar kesalahanku."

"Jadi kau tau apa kesalahanmu?" Sinis Soonyoung.

"Ne." Kataku dengan nada agak panjang dan menekan diakhirnya yang menggambarkan kekesalan terpendamku. Yang merasakan Woorin, kenapa juga dia yang marah? Aneh. Seperti dia istriku saja. Dumalku pada diri sendiri.

"Harusnya kau tidak usah meminta atau menyuruh seperti itu. Kau bisa puasa cola. Cola tidak akan baik diminum sering-sering. Atau jika kau tetap tidak bisa lepas dari cola, kau bisa pakai kata 'Tolong belikan cola untukku'. Tidak perlu sampai menyuruh seakan dia harus tau yang kau mau dan kau butuhkan itu hanya cola."

Ku ganti kata-kataku. Soonyoung tidak seperti istriku, tetapi dia seperti eomma-ku. Cara mengomel, menasehati dan bicaranya persis seperti eomma-ku yang ada di rumah. Aku jadi takut jika aku memang saudara sangat jauhnya Soonyoung.

Belum lagi ketika kami masuk di agensi yang sama untuk mengelola training, banyak yang mengatakan kami sedikit mirip. Tidak hanya fisik, stamina, talenta dan ambisinya memang bisa dikatakan setara denganku. Aku hanya bisa berharap jika itu hanya mimpi buruk saja dan aku hanya bermimpi.

Aku menghentikan kegiatanku untuk meraih laci yang ada di sampingku. Mengambil sebuah cermin dan memberikannya pada Soonyoung.

Dia terlihat bingung dengan maksudku. Dengan cepat aku berkata sebelum dia mengomel panjang. "Pertama. Berkacalah sebelum bicara. Kau ini sama denganku yang menyukai cola. Jangan kau anggap hanya aku saja yang menyukai minuman bergas itu."

Ehh tunggu?? Aku bilang kita sama? Ini bukan termasuk pengakuan tidak langsung kan?

"Yang kedua.."

"Tunggu.. Tunggu.. Aku hanya mau ingatkan. Jangan kasar-kasar pada hyung-mu sendiri ya."

Tanpa ragu aku melempar bantal-bantal yang ada di dekatku pada Soonyoung. Menyerangnya bertubi-tubi sampai tidak ada lagi yang bisa ku lempar. Jika aku tidak sayang dengan laptopku, mungkin aku akan melemparnya juga.

Dan tau apa reaksi yang dilempar? Dia hanya tertawa-tawa seakan senang dengan lemparanku itu. Sepertinya dia mengalami gegar otak ketika aku melemparinya dengan stik drum beberapa hari lalu.

"Michyeosseo?" Tanyaku. Takut-takut temannya memang gila.

"Eoh.. Michyeota. Aku sudah hampir gila karena senang mengerjai tsundere satu ini." Tawa Soonyoung semakin gila.

"Apa perlu ku ambil tali untuk mengikatmu sebelum kau makin hilang kontrol?" Sekarang aku mulai takut. Sungguh.

Soonyoung berusaha mengambil nafas panjang-panjang untuk menormalkn perutnya yang sakit. "Kau sungguh tidak tau maksudku tertawa?"

"Karena kau menganggap aku lebih muda darimu kan? Padahal kita hanya berbeda beberapa bulan dan aku tidak sudi memanggilmu hyung karena kenyataannya kita memang hanya berbeda 5 bulan lebih."

"Bukan bodoh." Sarkas Soonyoung.

Aku mengerutkan kening tanda tidak mengerti. Aku harus ingat membawa Soonyoung ke psikriater kapan-kapan. Batinku.

Karena menunggu Soonyoung bicara terlalu lama, aku berinisiatif mengambil barang-barang yang kugunakan untuk melempari Soonyoung dan kembali menyusun barang-barang itu dengan rapih. Sesuai dengan tatanan Woorin sebelumnya. Walau dia tidak yakin akan seperti semula atau tidak.

"Ini lah yang ku maksud."

Aku melirik ke arah Soonyoung kembali. "Jika bicara jangan sepotong-potong." Peringatku.

"Kau tau kan kau ini tsundere?"

"Aku tidak mengakuinya tuh." Tolak Jihoon.

"Akui saja kenapa. Susah sekali!" Soonyoung ikut kesal. "Jika di depan Woorin kau seakan tidak peduli, tapi saat dia tidak ada dan dia tidak lihat, kau selalu memikirkannya kan?"

"Tolong jangan sok tau. Kau tidak tau isi pikiranku." Serangku.

"Ani. Aku tau. Aku tau apa yang ada dipikiranmu. Kita ini sama. Kenapa aku berkata aku ini hyung-mu? Itu karena aku tau semua yang kau pikirkan secara singkat. Jika dikatakan aku adalah bagian tubuhmu, maka aku ini setengah dari alam bawah sadarmu."

Aku membiarkan Soonyoung mengoceh tidak jelas sendiri. Apanya alam bawah sadarku? Aku saja tidak sudi mempunyai suadara sepertinya. Bagaimana jika dia adalah bagian dari diriku. Aku tidak akan bisa hidup tenang dengan tubuhku sendiri.

"Seperti sekarang. Kau merapihkan barang-barang yang kau lempar ini sesuai dengan susunan Woorin karena tidak mau dia kelelahan membereskan kekacauan kita." Lanjut Soonyoung.

"Sok tau lagi kan. Aku membereskannya juga karena aku yang bertanggung jawab atas kekacauan ini."

"Akui saja kalau kau tidak mau Woorin marah padamu. Atau kau justru tidak mau Woorin sakit karena lelah?" Aku memilih diam dan kembali membereskan beberapa barang daripada harus menanggapi Soonyoung. Jika dia terus menanggapinya, dia akan menjadi gila juga.

"Dan lagi.."

"Aku kira sudah selesai." Gumamku sangat dan sangat kecil.

"Kau tau jika uang saku Woorin habis. Itu artinya kau memperhatikannya diam-diam bukan?"

Ku hela nafas panjang untuk membalas ucapannya. "Terserah kau menganggap bentuk tindakanku ini apa. Yang pasti aku tau uang Woorin habis karena persediaan kulkas habis. Karena biasanya dia akan membeli semua bahan makanan sampai kulkas full untuk sebulan. Lalu alasan aku membereskan ini semua karena aku sering menemukan Woorin tertidur di sini. Jadi sebagai bentuk penghormatan, kenapa aku tidak menjaga tempat istirahatnya ini." Kataku panjang lebar.

Tidak ada pentingnya juga aku menjelaskan ini. Soonyoung tidak punya alasan untuk mengetahuinya. Tapi demi menghentikan olokan Soonyoung, mau tidak mau aku menjelaskannya. Dan sekarang dia hanya tersenyum seakan puas dengan jawabanku.

Entah apa maksudnya? Tapi senyumannya itu sangat menggangguku. Aku pun memilih berkata, "Kita lanjut ke pekerjaan. Kita terlalu banyak membuang waktu."

"Baiklah tukang gerutu." Sahut Soonyoung. "Setidaknya sekarang kau sudah memiliki alasan baik untuk memperhatikan istrimu."

Ku kenakan earphoneku untuk menyumbat telinga. Sesaat aku membutuhkan ketenangan di pikiranku sendiri. Sejujurnya.. Ucapan Soonyoung ada yang menyangkut dibenakku.

Aku tidak tau yang mana itu. Tapi rasanya ada salah satu dari banyaknya ucapan ngawur itu yang mengena di dadaku. Yang mana? Apakah itu bentuk kesadaranku akan kehadiran Woorin? Atau justru memang aku..

Ahh.. lupakan. Mungkin itu hanya perasaanku. Batinku sendiri.

♡♡♡

Masih menggantung nih. Woorinnya belum muncul. Ada yang mau double up? ^^

Kebetulan aku belum pernah double up kan di sini?

Tapi sebelum itu.. Selamat hari raya idul fitri bagi semua yang merayakan. Mohon maaf lahir batin. Semoga segala kesalahan yang sempat ku lakukan hendak dimaafkan 😙💕

Hari ini spesial update ya. Kalau ada yang mau double up, 3 orang saja pasti akan ku kabulkan. Selagi masih libur, jadi bisa buat cerita untuk menemani kalian ^^

Ku tunggu kabar kalian ya
Annyeong~

WWWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang