51. Coba Memahami

556 75 3
                                    

Lee Woorin

"Masih dendam rupanya. Memangnya tidak cemburu Woorin sama pria lain?"

Kira-kira apa jawaban Jihoon ya? Aku penasaran. Harusnya aku tidak buru-buru masuk. Aku mau dengar jawaban Jihoon tadi..

"Jihoon pasti cemburu kok." Jawab Joshua. Mengetahui apa yang ku pikirkan. Apa ekspresiku semudah itu ditebak?

"Apa kau mau kembali dan menanyakan jawabannya pada Hoshi? Dia pasti akan menjawabmu lebih cepat dibanding suamimu yang pemalu itu." Lagi-lagi Joshua berhasil menebak pikiranku.

Joshua melayangkan senyumnya. Menyentuh kepalaku dan mengacak-acak rambutku. "Kita ini kakak adik satu darah, kita berteman cukup lama dari kita masih sekolah. Aku menjagamu dari jarak yang jauh, kita terhubung dan tentu saja aku bisa langsung tau apa yang kau pikirkan."

"Tapi bagaimana oppa tau Jihoon benar-benar cemburu dengan oppa?"

"Duduklah dulu." Joshua mempersilahkanku duduk pada single sofa berbentuk L itu. Memperlakukanku dengan lembut dan menyiapkan beberapa cemilan untukku. "Mau coklat panas?" Tawarnya sebelum benar-benar duduk.

"Air putih saja." Balasku. Tidak mau merepotkannya.

Setelah menaruh segelas air putih, Joshua baru duduk disebelahku. Tidak lupa tanpa memudarkan senyum indahnya yang sekarang sangat aku harapkan bisa dimiliki anakku nanti mengingat Joshua adalah kakak kandung asliku. Bukan berarti aku tidak ingin anakku memiliki senyum seperti Jihoon. Aku tetap ingin. Hanya saja aku ingin ada satu hal yang mengingatkanku bahwa aku masih memiliki hubungan keluarga dengannya.

"Jihoon begitu menyanyangimu. Dia akan melakukan apapun demimu. Saat kamu pergi, apa Jihoon memberitahumu kalau dia pergi mencariku?" Aku menjawabnya dengan sebuah anggukan.

"Saat itu aku bisa lihat ekspresi Jihoon yang menahan marah ketika aku mengatakan kau sudah tidak lagi tinggal diapartemen karena masalah itu." Joshua memberikan penekanan pada kata 'itu'.

Aku tau maksudnya adalah masalah mengenai status kami. Tapi Joshua belum mau menceritakannya saat itu mengingat kondisiku begitu hancur karena sakit hati. Aku memakluminya. Tapi apa sekarang aku sudah boleh mengetahuinya?

Joshua menyentuh kedua tanganku. "Kau tenang saja. Apapun keraguanmu pada Jihoon, mulai sekarang hilangkan. Aku sebagai kakakmu bisa menjamin jika Jihoon satu-satunya orang yang akan melindungimu selama 24 jam tanpa mengeluh."

"Oppa juga menjagaku." Kenapa perkataanku seakan masih meragukan Jihoon?

Bukan. Bukan itu maksudku. Aku hanya tidak mau kehilangan sosok kakak yang ku impikan ternyata ada.

"Tidak 24 jam. Kau tau, selama Jihoon kerja, dia selalu mengawasimu. Aku bisa pastikan itu. Suamimu itu bukan pria sembarangan. Dia punya cara tersendiri untuk mengawasimu. Entah itu caranya bagaimana, yang jelas kita berdua tidak akan mengetahuinya." Tambah Joshua. Sedikit tertawa untuk mencairkan suasana.

Itu bisa jadi benar. Untuk mencari tahu masa laluku saja, Jihoon tidak segan-segan mencari informan. Bagaimana jika hanya untuk mengawasiku? Itu hal yang mudah untuknya.

"Dan sejujurnya, Jihoon ke sini membawamu bertemu denganku juga bukan tanpa alasan."

"Katanya dia hanya ingin aku melepas rindu dengan oppa." Jawabku.

"Ada alasan lain." Tangan Joshua mendekat untuk menyentuh pipiku. Mengusapnya lembut sambil berkata, "Salah satunya Jihoon tidak mau kau memikirkan masalah Tuan Song. Appa-mu."

Aku menunduk, "Aku merasa bersalah pada Jihoon dan keluarganya."

"Jihoon pasti sedih jika tau kau masih sungkan dengannya." Ucap Joshua.

WWWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang