11. Akting

904 141 16
                                    

Song Woorin

Deg deg deg deg

Ku tekan-tekan kakiku, ku remas-remas telapak tanganku, ku tarik nafas panjang-panjang. Aku terus berusaha untuk menormalkan debaran jantungku.

Aku sungguh tidak menduga akan mendapat pengakuan ini dari Jihoon. Mungkin aku bisa saja mengabaikannya dan mengalihkan pernyataan itu pada seseorang yang menelepon Jihoon tadi. Tapi Jihoon sendiri sudah memberikan ralatan jika dia tidak memuji seseorang di seberang sana.

Kalau bukan dia, apa mungkin itu aku? Hatiku terus mengatakan itu, tapi kepalaku berusaha menolaknya. Tidak mungkin Jihoon memujiku. Rasanya sangat mustahil.

Sesekali ku lirik Jihoon untuk memastikan ekspresinya. Dia masih tenang dan datar. Tidak menunjukkan kecanggungan atau kerisihan lainnya. Sepertinya Jihoon memang tidak mengarahkannya padaku. Sudah ku duga. Tidak mungkin Jihoon tiba-tiba mengatakan dirinya cantik.

"Malam ini kau cantik." Seakan mendengar kata hatiku, Jihoon memujiku dengan suara yang lebih terdengar lembut dari biasanya.

Tentu saja itu membuat pipiku memerah. "Kamsahamnida."

"Aku bersungguh-sungguh. Kau memang cantik." Puji Jihoon lagi. Jika saja aku punya keberanian, aku ingin Jihoon berhenti untuk mengatakan itu. Aku tidak sanggup menahan jantungku yang hampir meledak ini.

"Apa kau tidak percaya dengan ucapanku?" Jihoon terus bicara dengannya. Aku bingung. Ini pertama kalinya Jihoon mengajaknya berbicara sebanyak ini.

"A-aku percaya. Kamsahamnida." Karena gugup. Aku hanya bisa mengatakan beberapa kata saja.

Jihoon kembali diam. Dia melihat lampu lalu lintas yang berubah merah. Menghentikan kendaraannya dan membuat keadaan sunyi kembali. Untuk beberapa saat.

"Katakan sesuatu yang lain. Ini terlalu sunyi." Kata Jihoon sambil melihat lurus ke depan tanpa menatap ke arahku.

Ekor mataku melirik ke arah kanan. Memastikan jika seseorang yang ada di sampingku bukan orang yang salah. Karena malam ini Jihoon begitu berbeda dari biasanya.

Lebih terasa hangat.

"Aku hanya tidak ingin membuatmu malu." Kataku yang sejujurnya.

Jihoon melirikku sesaat. Dia menatapku lekat-lekat. Mendekatkan wajahnya secara perlahan, tapi dia memundurkannya kembali ketika lampu merah sudah berganti warna.

Aku hanya bisa mengambil nafas secepat kilat. Padahal jarak kami belum terlalu dekat, tapi aku kehilangan oksigenku lebih cepat dari pada saat berenang. Aku sangat berterima kasih pada lampu lalu lintas yang memihak padaku.

Tidak ada lagi yang bicara setelah itu, Jihoon memilih untuk diam. Aku pun tidak mampu berkata apa-apa karena sibuk mengatur detak jantungku.

Perjalanan kami berlangsung damai dan tenang seperti biasa hingga kami sudah sampai tujuan dengan selamat. Dari gerbang rumah yang halamannya luas itu, mobil Jihoon disambut baik oleh petugas keamanan yang membukakannya pintu.

Panggilan tuan yang terdengar jelas, tidak dapat menutupi statusnya sebagai tuan muda dan pewaris tunggal perusahaan keluarganya suatu saat nanti. Aku pun tidak lepas dari sebutan nyonya ketika di sana.

Sebenarnya aku tidak nyaman dengan panggilan itu. Bagiku, kami memiliki status yang sama, tidak bisa dipanggil dengan sebutan yang lebih tinggi atau rendah seperti itu. Lagipula, selama ini yang menjagaku dengan baik adalah orang-orang seperti mereka.

Tanpa sadar selama dalam pikiranku sendiri, Jihoon sudah turun meninggalkanku. Bergegas aku menggandeng tasku dan hendak membuka pintu. Sebelum seseorang membukakanku terlebih dahulu.

WWWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang