30

2.1K 258 20
                                    

Baekhyun mencengkram selimutnya dengan erat. Tenggorokkannya sangat sakit dan dadanya sangat sesak. Mendengar perkataan Luhan yang tak pernah berubah dari dulu membuatnya tersenyum miris.

"Kakak memang selalu memilih Jin Ah, ya? Dari dulu." Baekhyun meletakkan selimutnya ke bangkunya lalu menatap Kyung Soo. "Aku tak apa." Ujarnya pada saudaranya itu, pertanda Kyung Soo dapat melepaskan cengkramannya.

"Tidak!" Kyung Soo dengan tegas menolak apa maksud Baekhyun. Dia tak ingin melepaskannya. Dia tidak tahu kapan Baekhyun akan jatuh nantinya dan dia tak ingin hal itu terjadi.

Namun Baekhyun melepaskan tubuhnya dari tangan Kyung Soo dan tersenyum pada saudaranya itu, lalu dia menatap Luhan yang ada di hadapannya. "Sampai kapan aku menyakiti Jin Ah?"

"Sampai kapan aku tak membiarkan Jin Ah mendapatkan kebahagiannya?"

"Kenapa aku terus menyakiti Jin Ah?"

Baekhyun mengulang kembali pertanyaan kakaknya itu, lalu dia mendengus. "Lalu sekarang aku akan balik bertanya pada Kakak."

"Sampai kapan Kakak menyuruhku untuk terus merasakan sakit ini!?"

"Sampai kapan Kakak menyuruhku untuk membuang kebahagianku!?"

"Sampai kapan Kakak menyuruhku untuk memprioritaskan Jin Ah!?"

"Aku juga ingin bahagia! Aku juga tak ingin terus merasa sakit!"

"Setidaknya jika aku menyakiti Jin Ah, dia punya orang yang akan selalu membantunya!"

"Dia punya banyak orang yang siap menolongnya kapanpun!"

"Lalu bagaimana denganku!?"

"Ketika aku tersakiti, siapa yang akan membantuku!? Siapa yang akan menolongku!?"

"Kakak!? Ibu!? Papa!?" Baekhyun mendengus sangsi mendengar pertanyaannya sendiri.

"Setidaknya aku tak boleh tersakiti karena aku tak punya siapapun! Jadi aku harus melindungi diriku sendiri!"

"Kalian hanya peduli dengan Jin Ah, kan!?"

"Kalau begitu, aku tidak bersalahkan dengan peduli pada diriku sendiri, karena tidak ada yang peduli padaku, kan!?"

Baekhyun berjalan menjauh dari tempat itu dan pergi menuju tangga yang menghubungkan halaman belakang rumah itu dengan kebun yang ada di bawahnya setelah selesai berbicara. Dia tak mempedulikan Luhan yang mengepalkan tangannya menahan marah, tak menyangka Baekhyun akan membalas perkataannya seperti itu.

*

Kyung Soo ingin segera menyusul Baekhyun, dia mengambil selimut yang ada di atas kursi dan akan pergi jika saja Luhan tak menarik tangannya dengan kuat.

"Aku tidak mengerti kenapa kamu selalu mengikuti dia, Kyung?"

Kyung Soo menatap cengkraman Luhan pada tangannya.

"Kamu tahu sendiri bahwa dia adalah orang yang di asingkan dari keluarga kita, tapi kenapa kamu mendekatinya?"

"Kamu tidak tahu bahwa keluargamu sampai di bicarakan oleh keluarga lain karena kedekatanmu itu dengan dia?"

"Aku yakin mereka sangat malu, putri yang mereka banggakan malah memilih orang yang dapat menjadi temannya adalah orang seperti Baekhyun."

"Penyakit mental. Gila. Tak berperasaan."

"Kamu yang sekarang berbeda dengan kamu yang belum mengenal Baekhyun duku, Kyung."

"Seperti seekor anjing yang terus mengikuti majikannya dan menuruti segala perintahnya."

Kyung Soo menghela napasnya, "Luhan, kenapa kamu sangat membenci Baekhyun?"

"Aku tidak dapat melihat alasanmu untuk sangat membenci dia sampai seperti ini."

"Kebakaran rumah waktu itu kita semua tahu bahwa Baekhyun melakukannya demi melindungi dirinya. Kamu tidak dapat menyalahkannya karena hal ini."

"Kecelakaan yang hampir membuat Jin Ah mati - itu kecelakaan. Bukankah itu sangat jelas? Kenapa kamu melimpahkan kesalahan orang lain padanya? Memang dia yang membawa mobil, lalu apakah dia yang menabrakannya atau dia yang di tabrak?"

Luhan menyipitkan matanya dan melepad cengkramannya.

"Dengar Lu, sekarang aku sudah tidak peduli dengan apa yang kalian bicarakan tentang Baekhyun. Aku hanya percaya apa yang ada di hadapanku. Deduksimu padaku tentang Baekhyun takkan mempan. Karena aku adalah orang yang paling tahu dirinya bagaimana sekarang."

Kyung Soo langsung pergi dari sana dan bergegas menyusul Baekhyun yang sudah berada di bawah. Perempuan itu sedang berjongkok dan menatap sekitarnya yang memiliki penerangan minim dengan mata memincing. Dia harus menemukan cincin itu bagaimanapun caranya, karena cincin itu bukan hak miliknya sepenuhnya.

*

Hye Jin yang tak sengaja melihat dan mendengar pertengkaran Luhan dan Baekhyun itu berhenti melangkah. Niat awalnya dia untuk kembali ke dalam rumah dengan sang suami setelah berbicara dengan salah satu ponokannya langsung terhenti. Raut wajahnya yang sebelumnya terlihat bahagia kini sangat dingin saat melihat Luhan melemparkan cincin yang diberikannya pada Baekhyun.

Luhan bertindak seperti itu pasti karena Jin Ah.

Dia menatap calon menantunya yang berdiri tak jauh dari Luhan bersama Chanyeol di sampingnya. Dia tersenyum miring melihat putranya itu seperti boneka.

Bodoh.

Sangat bodoh.

"Buah memang jatuh tidak jauh dari pohonnya ya?" Hye Jin melirik suaminya yang mengangkat kedua alisnya.

"Aku tidak sebodoh itu."

Hye Jin tertawa mendengarnya, "Kenapa sih kalian itu? Membuat sesuatu yang sangat mudah selalu saja jadi sulit? Berputar-putar."

Suaminya tertawa.

"Kasihan Baekhyun." Hye Jin tersenyum tipis saat melihat Baekhyun pergi dari sana menuju kebun yang ada di bawah halaman itu. "Semuanya di rebut darinya."

"Dan Chanyeol juga menghancurkan hidupnya."

"Jika dia tetap hidup-pun, dia sudah tidak berarti lagi menjadi seorang perempuan."

"Bagi orang-orang seperti kita, kematian hanya menjadi jawaban."

Park Seung Woon mengerutkan dahinya, tidak setuju dengan perkataan istrinya itu, "Apakah benar hanya kematian yang bisa menjadi jawabannya?"

Hye Jin menggelengkan kepalanya, "Tidak juga." Ujarnya.

"Jika dia punya kesempatan untuk hidup, dia juga pasti memilih hidup."

"Sayangnya dia tidak punya kesempatan seperti itu."

Seung Woon tak mengerti apa yang dimaksud istrinya.

"Aku harap hari ini, Chanyeol dapat berubah sedikit dengan melihat perempuan itu lebih dekat."

"Dengan menyuruhnya memberikan cincin itu pada Baekhyun, aku harap dia sedikit memerhatikan keadaan perempuan itu."

"Tapi sepertinya meskipun dia tahu, Chanyeol tetap tidak peduli, ya? Dia menutup matanya."

"Aku merasa kasihan pada anakku."

Italian WhitesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang