Setelah tinggal beberapa hari di rumah keluarganya, Baekhyun mulai tahu kebiasaan setiap orang yang ada di rumahnya. Setiap hari, Kibum waktu sore selalu mengunjungi kebun bunga yang berada di belakang rumahnya. Dia akan menghabiskan waktu sore harinya dengan meminum teh sambil menikmati pemandangan dan membaca buku.
Baekhyun yang tahu hal ini, ingin mendekatkan dirinya dengan Kibum saat itu. Maka dari itu dia pulang lebih awal dan kini mencoba mendekati ibunya, hari ini.
Dia ingin mewujudkan salah satu keinginan terakhirnya.
"Ibu." Baekhyun memanggilanya pelan.
Kibum melirik Baekhyun sekilas lalu kembali membaca bukunya.
"Boleh aku duduk di kursi samping ibu?"
Baekhyun menunggu jawaban, namun Kibum tak memberinya, sehingga dia memutuskan sendiri untuk duduk di kursi samping ibunya itu.
Baekhyun menatap kebun bunga di hadapannya. Kebun itu di rawat dengan baik, terlihat banyaknya bungan yang bermekaran dan betapa indah warnanya. Baekhyun menatap ibunya sebentar, lalu menatap hampar bunga di hadapannya lagi.
Dia ingin berbicara - mengobrol lebih tepatnya - dengan ibunya itu, namun dia tak tahu apa yang harus mereka bahas. Sejak dulu keberadaannya memang tidak pernah di anggap, sehingga dia di singkirkan dan tak tahu apapun tentang keluarganya sendiri. Mereka hanya sebatas - oh, dia masih hidup - sudah.
Baekhyun berusaha menggali ingatannya yang hanya tinggal beberapa. Dia berusaha menarik dirinya di masa lalu dan mencari-cari bagaimana cara agar dapat berinteraksi dengan keluarganya, namun yang ada hanyalah potongan gambar acak.
Saat dia menatap suasana meriah di ruang tamu rumahnya waktu dulu - perayaan ulang tahun pertama Jin Ah.
Saat dia melihat banyaknya orang tua yang mengantar anak-anaknya masuk sekolah untuk pertama kalinya.
Lalu yang terakhir adalah saat para lelaki itu menarik rambutnya dan menyiksanya hingga dia membakar rumahnya sendiri untuk melindungi diri.
Baekhyun membuka matanya lalu merasa kasihan pada dirinya sendiri, karena kenangan masa kecilnya hanya penuh rasa sedih dan kesakitan. Tak ada rasa bahagia ataupun senang.
Mungkin ada, namun dia lupa.
Dia lupa dengan segalanya.
Kebahagiannya tertutupi dengan rasa sakitnya yang sangat besar.
Baekhyun menatap ibunya yang masih membaca buku yang ada di tangannya lalu merebahkan kepalanya ke punggung kursi dan memejamkan matanya erat. Ada banyak hal yang ingin dia bicarakan dengan Kibum. Sangat banyak. Namun dia tidak tahu harus mulai dari mana.
"Ibu." Panggilnya lagi.
Kibum tetap tak menjawab panggilan itu dan terus melanjutkan bacaannya.
Baekhyun mengatur napasnya yang perlahan memberat akibat mengingat kembali hal itu. Dia melipat kedua kakinya di depan dada dan memeluknya dengan erat.
"Apakah selama aku pergi, ibu tidak pernah merindukanku?"
Kibum berhenti membaca bukunya sesaat dan diam mendengarkan.
"Apakah selama aku pergi, ibu tidak pernah merasa kehilangan salah satu putri ibu?"
"Kamu sudah bukan putriku lagi."
Jawaban Kibum yang dingin itu membuat Baekhyun tertawa kecil lalu memandang Ibunya itu dari samping.
"Aku masih putri ibu."
"Sejak kamu mencoba membunuh Jin Ah lagi tiga tahun yang lalu, kamu sudah bukan anakku lagi." Kibum menutup bukunya dan menatap Baekhyun tajam serta dingin. "Jangan panggil aku lagi dengan sebutan ibu."
"Berarti, aku masih anak ibu, sebelum tiga tahun yang lalu, kan? Tapi kenapa ibu tidak pernah mempedulikanku waktu itu? Kenapa aku di jauhkan?"
"Kenapa aku di singkirkan dari kalian?"
Baekhyun mengambil napasnya yang berat dengan perlahan.
"Apakah aku masih anak ibu waktu itu?"
"Apakah aku masih anggota keluarga ini waktu itu?"
Kibum menyipitkan matanya, "Kami hanya menjaga jarak denganmu agar kamu tak menyakiti kami lagi." Ujarnya. "Bukankah seharusnya kamu berterimakasih, karena kami masih menerimamu yang telah melakukan itu?"
"Kamu itu aib, Baekhyun, keluarga Byun tidak pernah punya orang yang memiliki pemikiran kejam seperti itu, membakar rumah? Mencoba membunuh adikmu sendiri?"
"Kamu sakit. Sakit jiwa."
"Memilikimu di keluarga ini, membuat nama Byun sangat buruk."
Baekhyun menghembuskan napasnya perlahan. Tenggorokkannya sangat sakit dan panas. Dadanya sangat sesak mendengar itu.
"Lalu, apakah sebelum semua itu terjadi, aku diperlakukan sama dengan yang Ibu berikan pada kak Luhan dan Jin Ah?"
"Apakah kalian menyayangiku seperti kak Luhan dan Jin Ah?"
"Apakah kalian, menginginkan kehadiranku di keluarga ini seperti kak Luhan dan Jin Ah, waktu itu?"
Kibum mengerjapkan matanya. Dia enggan menjawab pertanyaan itu, karena dia tak ingat apapun. Dia tak ingat saat perasaan ketika mengandung putrinya itu. Dia tak ingat ketika menggendong putrinya itu pertama kali. Dia tak ingat ketika putrinya itu bagaimana berkembang.
Baekhyun tersenyum mendapati tingkah laku Kibum yang enggan menjawab pertanyaan itu. Dia mengulum bibirnya kemudian berdiri dari kursinya dengan berat hati.
Dia menghampiri Kibum yang memalingkan wajahnya. Dia tertawa kecil melihat sikap ibunya itu lalu meraih kedua tangan Kibum dan menggenggamnya dengan erat.
"Tidak apa jika ibu tidak ingin menjawabnya."
"Aku senang dapat berbicara dengan ibu hari ini, meskipun hal ini tidak bisa disebut sebagai pembicaraan yang normal antara keluarga, aku senang dapat berbicara dengan ibu."
Baekhyun membawa kedua tangan itu ke depan bibirnya dan mengecup punggung tangan ibunya dengan lembut.
"Terimakasih."
Dia mengangkat kepalanya dan menatap Kibum yang kini menatapnya dengan datar.
Baekhyun mengembangkan bibirnya dan tersenyum sangat manis serta cantik pada Kibum hingga kedua matanya berbentuk bulan sabit.
Lalu dia berujar dengan gembira pada Kibum.
Harapan terakhirnya yang pertama.
"Terimakasih telah melahirkanku di dunia ini."
1. Mengucapkan kata terimakasih pada Ibunya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Italian Whites
FanfictionBaekhyun tidak masalah dengan semua yang terjadi di sekitarnya. Hanya satu yang dia pedulikan. Dan itu adalah lelaki yang membenci dirinya.